Sepasang Netra yang Tenggelam

804 140 96
                                    

Sepasang Netra yang Tenggelam
Written by: sthrynnara

[ PARK JIMIN'S BIRTHDAY PROJECT ]

⭐⭐⭐

Dulu, aku pernah bilang padamu untuk tidak bermain-main dengan alkohol, obat-obatan, dan semacamnya. Semua yang terlarang, apa pun itu, harusnya kaujauhi saja. Akan tetapi, telingamu diciptakan untuk tuli. Minuman memabukkan itu tetap lolos membelai kerongkonganmu nyaris setiap waktu. Juga, dengan beberapa macam pil--yang tak kuketahui namanya apa--tak pernah lekang menjadi penemanmu.

“Dunia sudah cukup memusingkanku, An. Semua ini hanya penenang saja. Jangan khawatir.” Sekiranya itu yang acap kali kauluncurkan tatkala aku mengingatkan. Dan, oh, hanya penenang, katamu? Dua kata itu entahlah sudah berapa ribu kali menyentil telingaku manja. Aku bosan, sejujurnya.

Jadi, lihatlah sekarang, Jimin. Kau terkulai lemah di atas ranjang putih panjang di ruangan serba putih pula. Dengan sistem imun yang kian raib; membuat pertahanan tubuhmu lumpuh. Tatapan matamu tak bernyawa sekali. Kosong. Sehampa udara. Bahkan bergerak barang seinchi saja kau harus bersusah payah. Sebenarnya kau masih hidup atau tidak, Jim?

“Jangan katakan bahwa aku tak mengingatkanmu, Jimin.”

Aku duduk di pinggir ranjang, sementara kau tetap telentang. Kau memandangku tak paham, tapi mulut kerontangmu itu malah bungkam alih-alih bertanya. Mungkin kau memang tak paham, mungkin juga karena kau benci mendengar tuturanku yang terus diulang.

“Berapa umurmu sekarang?” Sebab kau hanya bergeming, maka hanya aku satu-satunya yang harus mencairkan suasana.

Oh, lihat. Kau mengedip lemah, Jim. Mulutmu terus bergerak kendati tak ada satu patah kata pun yang terlontar. Suara “clik” berulang-ulang yang timbul dari infusmu terdengar mendominasi, namun tak ayal gendang telingaku menangkap getaran suara yang coba kauutarakan.

“U ... a pu ... luh ... ti ... a.” Itu yang kutangkap. Dan aku yakin, yang coba kausampaikan adalah: dua puluh tiga. Bukan begitu, Jim?

Aku tersenyum. “Itu artinya kau menghabiskan dua puluh tahunmu bersamaku, dan tiga tahun bersama barang-barang itu.”

Kautahu, Jim? Biasanya, senyumanku ini menular padamu. Bahkan kau sering kali melengkungkan kurva lebih lebar lagi. Namun, untuk kenyataan pahit yang harus keteguk, kali ini tak lagi begitu. Kau terus diam; mengedip dan menggerakkan bola mata ke sekeliling.

Jadi, senyumanku pudar seiring sekon memburu menit. Buruknya, bulir air yang menggumpal di sudut mata malah mengambil alih takhta; menerjang pipiku kesetanan. Dan tetap, kau tak melakukan atau berkata apa pun. Kau hanya menatapku lamat seiring jelaga semi sipit itu menyampaikan hal abstrak nan menggetarkan relungku.

“Kenapa, Jimin? Kenapa kau berpura-pura tuli, hah?” Sejenak, kuraup oksigen rakus tatkala punggung tangan menyeka tangis. “Sudah kukatakan bahwa barang-barang itu bisa merusakmu, bukan? Lihat dirimu sekarang, Jimin! Kau sekarat!”

Tunggu. Tak kusangka. Bukannya marah (atau mengomel seperti yang biasa kaulakukan) karena aku menaikan oktaf saat bersua, seulas lengkungan kelewat tipis justru tersemat di wajah pucatmu. Aku tak tahu apa kausenang atau sebaliknya. Kau terlalu rumit.

Perawatmu tiba di detik kemudian. Dia menanyakan apa kau baik saja, sementara dia memarahiku setelahnya. Jangan berteriak di ruangan pasien, Nona, itu bisa mengganggu, katanya mengingatkan. Aku sempat dipaksa keluar, tetapi ajaibnya tangan ringkih nan dinginmu itu mencegah kebangkitanku; meski terasa amat lemah.

Sontak kuarahkan atensi hanya pada presensimu; pada pahatan indah yang Tuhan cipta. Senyuman madu yang benar-benar terlihat seperti senyuman terpamer apik. Membuatku--sekaligus si perawat--terperangah heran. Mulut kerontangmu bergerak-gerak; terbuka, membulat, tertutup. Beriringan dengan itu, ada rintik air yang jatuh; membelai pipimu tak sopan.

Aku tak tahu apa yang terjadi sebenarnya. Tetapi si perawat itu mendadak bergegas dengan panik begitu mendapati sepasang netramu yang tenggelam, seiring napasmu yang berhenti menderu. Pun, kurasakan genggaman tanganmu berangsur melonggar. Setelah seorang dokter tiba bersama dua perawat lain dengan tergesa, barulah aku sadar bahwa Park Jimin sudah berpulang pada Tuhannya.

Kau sudah pulang, Jim. Entah harus raut muka seperti apa yang baiknya kulukiskan. Di satu sisi, pertahananku luluh lantak tatkala melihat seluruh tubuhmu ditutupi kain kafan. Tapi di sisi lain, hatiku berbunga-bunga. Senang sekali rasanya. Sebab, kendati tak bersuara, aku tahu betul apa yang coba kau lontarkan tadi.

Aku mencintaimu, An. Bukankah itu yang tadi coba kaukatakan, Park Jimin?

Fin
Published: Oct 13th, 2018

Note!

Selamat ulang tahun untuk ARMY's beautiful angel, the softest human being, Park Jimin. Semoga yg bahagia selalu menghampirinya, keluarganya dan orang-orang yg dia cintai. Semoga dia bisa beristirahat dan segera pulih (pula untuk Jungkook).

Happiest Birthday, Jim! 😘

P.s Sebenernya, aku udah bikin ff oneshot buat project ultah Jimin sedari sebulan lalu. Tpi, karena ff-nya blm beres dan waktunya mepet, alhasil aku ngebut nulis ini; yg lebih simpel. Jadi, kalo misalkan gaje, mohon dimaklumi. Nulisnya aja sambil merem melek. //mana msh pts;(//

P.s.s Maaf, ya, kalo aku bkin tokoh Jimin "buruk" di sini:((. But, trust me, guys. I love him so fucking much than you think.

P.s.s Soon, aku bakalan publish (doain aja) ff yang itu. Iya, yg itu. Hehehehe //evil smile//. Sedikit bocoran; konsepnya sama, sih, cmn plotnya jelas beda. Itu aja. Selamat pagi dan selamat menjalani hari, teman! 💜

P.s Saya lagi ikutan kampanye #PFFW, nih. Yang mau gabung ayo cek di akun shynt_ atau di akun olentia_
















Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 18, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Sepasang Netra yang Tenggelam (✔)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang