BAB 4

86 3 0
                                    

Makan malam menjadi saat yang paling mendebarkan. Perbicangan hanya seputar masa kecil Izza, kapan ia mulai berhijab, kuliah izza dan hal remeh-remeh seperti itu. Azkia memanfaatkan momen itu untuk mempelajari calon yang diperkenalkan pada Izza.

Menurut padangan Azkia; laki-laki itu tidak bisa dibilang tampan, tapi juga tidak jelek. Ada kelembutan di wajahnya namun garis wajah tegas dengan kulit kecoklatan membuat karakternya terlihat sebagai sosok yang keras. Kumis tipis dan jenggot minimalis menjadi daya tariknya. Ia terlihat sangat dewasa di usianya yang baru menginjak 24 tahun. Azkia juga menyimpulkan bahwa laki-laki itu sudah menekuni usaha percetakan ayahnya sejak ia duduk di bangku kuliah, dan ketika lulus ia resmi menggantikan ayahnya. Bahkan di tahun ini, ia mulai merambah ke usaha biro perjalanan haji dan umroh. Belum membuahkan hasil, namun ia sedang mengusahakan agar usaha barunya bisa berjalan lancar,dengan menggembleng nama besar percetakan yang telah dirintis duluan oleh ayahnya. Azkia suka dengan optimisme yang terpancar dari laki-laki itu. Sesuai dengan syariat,ia selalu menyebut nama Allah dalam keberhasilan dan apapun yang ia lakukan. Ia akan cocok dengan Izza yang santun.

Selepas makan malam, perbincangan dialihkan ke ruang tamu. Azkia di dapur membantu Izza menyiapkan minuman dan makanan kecil sedangkan bunda yang membawanya ke ruang tamu. Azkia dan Izza saling berdiam diri di meja. Menanti-nanti cemas keputusan apa yang diambil oleh keluarga Pak Arman.

Saat mereka pulang, Izza dipanggil ke ruang tamu. Azkia memilih naik ke kamar Izza dan terlentang di kasur.

Ada kesepian yang menggelayuti dadanya. Ia sedikit cemburu pada Izza yang tidak dituntut apa-apa oleh orangtuanya. Mereka sepenuhnya menyerahkan keputusan kepada Izza untuk menjadi ibu rumah tangga, wanita karir, atau keduanya. Sedangkan Azkia, ia telah diwanti-wanti orangtuanya untuk bekerja sebagai wanita karir. Memulai dari nol sebagai karyawan di perusahaan swasta milik ayahnya.

Namun Azkia menghibur dirinya. Apa enaknya di rumah terus, tidak bisa kemana-mana, tidak bebas bergaul harus nurut kata suami, tidak boleh ini dan itu dan tidak bisa melakukan apa yang ia sukai dengan bebas.

Azkia berguling, memandang bulan yang mengintip dari awan hitam yang pekat. Sangat kontras dengan langit malam yang cerah. Tiba-tiba perasaan tidak enak menyelinap dalam hatinya. Apa ia masih bisa seperti ini dengan Izza? Bercanda, tertawa, bertengkar, saling ngambek, saling meledek, saling merangkul, saling berbagi? Apa Izza akan meninggalkannya, melupakan masa-masa indah ketika mereka kecil hingga dewasa?

Tidak! Pikir Azkia keras.

Izza tidak pernah berpikir meninggalkan Azkia bahkan di saat Izza mantap berhijab, hijrah di jalan Allah saat umurnya 19 tahun. Izza tetap mendampingi Azkia dan terus menasehatinya jika ia mampu. Selisih paham tak terhindar dari perdebatan mereka, namun Izza tetap Izza yang dulu.

Tanpa sadar, mata Azkia merasa berat dan ingin sekali terpejam. Sayup-sayup suara Izza dan bunda terdengar dari bawah, membuai Azkia semakin dalam kantuknya. Dalam mimpinya ia bertemu dengan Ray. Wajah Ray yang tampan, sikap ksatria berlebihan yang selalu ingin ia perlihatkan pada Azkia, di susul wajah sedih Ray yang ditolak cintanya. Azkia benci mimpi ini. Mimpi yang tidak pernah ia inginkan sama sekali.

***

Vote & share jika suka cerita ini ^^

Dear Heart, Why Him?Where stories live. Discover now