Namanya Biru. Bukan langit biru atau lautan biru. Ia benar-benar Biru-pemuda jangkung dengan surai sehitam jelaga. Aku menemukannya bertahun-tahun silam saat terlambat masuk sekolah lalu berbaris untuk menerima hukuman. Ia ada di sampingku. Itu perkenalan yang amat tidak keren.
"Hei, namamu?" Saat itu dia menyenggol bahuku. Aku mengernyit. Menatap dengan kedua alis menukik.
"Aruna Renjana." Suaranya menggema di runguku. Aku yakin ia tidak berteriak di dalam gua-dia hanya berbisik di dekat telingaku.
Aku menoleh. Menatapnya penuh keterkejutan.
Kudapati ia tersenyum puas. Sejak saat itu, entah kenapa semesta senang sekali membuat kami bertemu. Sering sekali. Di koridor sekolah, di kantin, di lapangan basket, di depan lab. bahasa, di halte, dan di bawah langit biru. Dan ia adalah manusia yang tak punya rasa lelah jika menggangguku. Di manapun kami bertemu, ada saja tingkah yang menyita habis perhatianku. Hingga... ia berhasil mencuri sepotong hati milikku.
"Ceritakan perihal mimpimu untuk masa depan nanti, Na. Aku ingin tahu." Tanyanya ketika kami duduk di tepi laut. Kata Biru melihat senja di tepi laut akan nampak berkali-kali indah, walau kutahu senja akan tetap menghilang tak peduli seberapa ia indah. Bukankah di bumi memang tak ada yang abadi? Ya, kecuali Tuhan yang menciptakan.
Aku terdiam. Tak mengerti apa yang sebenarnya kuimpikan. Aku hanya hidup dalam satu hari yang Tuhan beri, tugasku hanya untuk bersyukur di setiap embusan napas kehidupan. Wajar bukan jika aku tak memikirkan perihal mimpi dan masa depan? Tetapi ada satu, perihal masa depan-aku ingin Biru menjadi bagian terpenting dari itu.
"Mimpiku adalah apa-apa yang ada pada kamu." Jawabku.
Ia diam. Tak menoleh barang sedikitpun.
"Tidak bisa, Aruna. Harus mimpi yang lain. Tidak boleh yang itu."
"Kamu menyebalkan, Biru. Sekarang kutanya, bagaimana dengan mimpimu?"
"Aku suka sekali jika-
Tenggelam bersamamu."
Jantungku nyaris loncat mendengar jawaban konyolnya itu.
"Tidak mau!" Jawabku ketus.
"Katamu kamu ingin tahu rasanya dipeluk oleh biru? Lautan itu biru, Aruna."
"Biruku cuma kamu."
Pelukan itu juga harus dari kamu. Lanjutku dalam hati.Ia diam untuk yang ke sekian kali. Apa aku salah bicara? Tetapi tiba-tiba saja ia memelukku.
"Besok aku harus menjadi Biru yang menjejaki kakinya di setiap lautan dan gunung. Jadi tidak perlu menjadikan aku satu-satunya sebab aku tak mampu bertahan di sisimu selamanya, Aruna." Bisiknya sembari mengusap lembut suraiku.
Pelukan ini terasa seperti perpisahan. Mataku memanas, ada sesuatu yang mendesak ingin keluar. Tetapi aku tidak boleh terlihat menyedihkan.
Sore itu senja memang nampak lebih cantik, menggantung di langit bersama lengkungan laut tak berujung. Tetapi segala hal itu terkalahkan bahkan hancur oleh ucapan Biru.
Hari ini aku sadar. Biru benar-benar pergi, ia tak kembali. Biruku hilang tak peduli seberapa sering aku memintanya pada Tuhan. Hidupku menjadi abu-abu kembali tanpa Biru di sini. Benar memang, jika kita menggantungkan hidup pada seseorang maka kita harus siap atas konsekuensinya. Dan menurutku, walau sakit, mengingat segala hal tentang Biru masih saja menyenangkan.
Malam ini aku menulisakan sesak itu lewat selembar kertas dan pena hitam. Kemudian membentuknya menjadi perahu, lalu aku membiarkan ia berlayar pada air sungai yang beriak. Semoga perahu kertas itu sampai di lautan. Lalu semoga saja Lautan mau mengabarkannya pada Biru. Semoga.
'Biru, aku ingin tenggelam bersamamu. Ingin dipeluk oleh samudra itu. Malam ini juga, bisakah kamu membawaku ke kapal? Kita pergi ke tengah samudra menikmati malam yang menggigil. Katamu, kamu suka jika kita tenggelam. Kita tenggelam bersama saja biar sama-sama tahu rasanya dipeluk oleh air laut. Semakin dalam semakin gelap, dan jarimu jangan kau lepas dari tautan kita.
Kita tidak perlu repot-repot saling menyelamatkan. Air laut yang dingin itu akan dengan senang hati memeluk kita, Biru.
Tetapi, Biru... aku lebih menginginkan menatap langit biru bersamamu. Di beranda rumah dengan teh hangat di pukul tujuh pagi. Kembali, Biru. Aku merindukanmu. Kembalikan juga sepotong hatiku yang kau curi. Aku tidak bisa hidup hanya dengan sepotong hati yang tak utuh. Biru, Aruna tidak apa menjadi pelabuhan terakhirmu. Kembalilah. Rindu ini perlu bertemu tuannya.'
S e l e s a i.
Biruku ❤
Selamat ulang tahun, Jisayang!
Cerita ini kado untukmu. Untuk seluruh Army hehe.Pemuda jangkung dengan surai sehitam arang😍
Ini short story dan juga one shoot aja ya. Hehe iseng, kepikikan tu org jadi nulis ginian. Cuma namanya gak pake nama dia. Aslinya mau ikutan di sweek yg cerita maksimal 250 word dengan nyantumin kata Biru. Eh malah dpt 600 lebih words. Ya sudah, di sini lebih nyaman😆
Makasih yg mau vomment. Yg belum, jgn lupa vote dan koment. ❤