Sesuai tiket yang di berikan. Bunda, Abang , sekaligus Ita mengantarkan ku ke Bandara International Juanda. Kebetulan, kurang sepuluh menit lagi pesawat yang akan aku tumpangi segera berangkat. Ku peluk malaikat tak bersayapku ini, nampak di wajahnya terdapat guratan kesedihan.
"Bunda." Panggilku dengan menggigit bibir bawa agar kuat menahan tangis. Biarkan kalian menganggapku sok kuat, sok tegar , atau apalah. Yang terpenting aku tak mengusik ketenangan kalian. Lagian buat apa aku harus sedih?Biarkan perpisahan hari ini di isi dengan kebahagiaan saja.
"Jangan lupa nasihat Bunda ya Cha." Katanya dengan menampilkan senyum teduh lantas mencium kepalaku yang terbalut hijab.
Ku lepas pelukan ku yang melingkar di pinggang ramping Bunda. Dan lantas ke arah Abang tersayangku yang super duper gak pernah peka. Ku peluk dia dengan erat. Ya meski kalian tahu. Aku dan Abang sangat jarang akur. Bagaikan tom and jarry. Yang hanya akur ketika sudah terkena omelan dari Bunda. Tapi, meski begitu. Aku sangat sayang pada Abang.
"Jangan lupa dek. Bawain Adik ipar buat Abang." Godanya sambil membalas pelukanku.
Sontak saja. Aku yang mendengar kata-kata "Adik ipar." langsung ku cubit perut sispecknya.
Apaan sih Abang ini. Malah bahas hal yang gak jelas. Runtuk ku dalam hati.
"Ih...ABANG. Masih sempet-sempetnya sih godain Echa."
"Lihat ajah nanti. Saat kamu di Paris pasti kangen sama godaan Abang."
"Idih. Pede amat kamu Bang."
"Bang. Lucu paling ya, kalo Echa udah pulang dari Paris terus tau-tau ada dedek bayi, dan Echa udah jadi AUNTY." Godaku sambil melirik beberapa kali ke arah Ita.
"Bayi dari mana Dek? Emangnya Bunda mau.... Eh Astaghfirullah." Kan. Bang Dokterku gak peka lagi. Udah jelas-jelas kata "AUNTY" nya aku tekan supaya dia peka. Tapi pikirnya kok malah macem-macem. Pengen tu jidatnya aku jedotin ke tembok. Bira gak loading-loading.
"Maksudnya Echa. Abang nikah sama Ita terus punya dedek bayi."
"Sekate-kate lu Dek. Hm.. Ita ajah baru lulus SMA. Masak langsung kawin. Belum paati juga kalo Ita mau sama Abang." Yea.. Ternyata Abangku juga sama kayak Ita. Yang saling mengharapkan tapi tanpa kepastian.
"Bakal mau. Tenang ajah." Kataku lalu melirik ke arah Ita. Dan Ita yang mendengarkan percakapan tadi, pipinya memerah bak kepeiting rebus.
"Masih belum siap dek."
"Terus sampe kapan? Apa iyah, nunggu Upin Ipin jadi sarjana? Ya njamur Bang. Awas ajah kalo Ita tiba-tiba di sambet sama orang lain. Bakal nyesel tujuh turunan kau Bang." Cerocosku yang tak henti-henti menghakimi Bang Alif.
"Kan ku tikung dia dengan rangkaian do'a disujud sepertiga."
"Langsung kawin ajah Lif. Biar Bunda gendong cucu. Lagian nak Ita kan shalehah, pintar , rajin , dan cantik lagi."
"Bonus komplit tuh Bang."
Abang yang tak tahan dengan topik pembicaraan ini pun langsung mengalihkan pembicaraan. Sedangkan hatiku seperti biasanya yang menyalakan petasan bak pesta.
"Dek. Kamu di sana tinggal sama Bibi di apartemennya ya! Nanti kalo sudah sampai tinggal naik taxi terus kasih tahu alamatnya." Ujar bang Alif sembari menyodorkan kertas putih yang berisi alamat apartemen bibi.
"Oke Bang."
"Mye. Disana jangan lupa kabari aku ya! Kalo bisa setiap hari kita vidio call." Sahut Ita.
KAMU SEDANG MEMBACA
Akhir kisah di Benua Eropa
JugendliteraturDulu aku pernah membenci senja. Karena setelahnya hanya akan ada kegelapan dimana-mana . Tapi semenjak mengenalmu , dan kau memberitahuku tentang pengorbanan sang senja. aku mulai menyukainya. Karena senja rela tenggelam demi kegelapan yang di isi...