Prolog

31 3 2
                                    

SELAMAT MEMBACA

■■■■■■■■■■■■■■■

✨✨✨

Rintik bening hujan, mulai berjatuhan. Rupanya... sedikit demi sedikit, membasahi dataran gersang, sang metropolitan.

Hujan menimpa, udara mulai segar. Tadinya, beraroma asap yang begitu menyengat, sering kali membuat sesak, dada sesaat.

Hei... coba dengar! Lantunan adzan magrib mulai bergemuruh, kini terdengar disetiap penjuru. Dan orang-orang yang berlalu-lalang ini... masih mencari tempat berteduh, di dalam hingar-bingarnya kota.

Nampaknya, hujan ini akan berlangsung tiada terkira.

Di sana, di Halte busway itu, sudah terbaris beberapa orang, yang tengah menunggu Trans Jakarta. Wajah-wajah mereka sangat lesu, berkeringat, juga terciprat air hujan.

Ada satu raut yang berbeda dari barisan itu. Raut ini dimiliki gadis putih abu-abu. Dia tidak terlihat lesu ataupun berkeringat. Hanya saja, keliatan lebih bersemangat.

Dengan sebuah headphone yang melingkar di kepala, ia mengangguk-angguk, ke atas ke bawah. Tentu saja, dia sedang mendengakan lagu. Ia benar-benar menikmatinya sekarang.

Bus pertama lewat, ke dua dan ketiga. Si putih abu-abu itu, tidak beranjak dari tempatnya. Ia masih asik mendengarkan musik. Hingga beberapa jam kemudian, halte itu menjadi kosong, tersisia dia sendirian.

Diliriknya kanan-kiri, matanya tidak menunjukkan raut terkejut sama sekali. Karena sudah sepi, tinggalnya seorang diri. Sepintas, akan membuat seseorang berfikir, kalau dia memang menunggu keadaan sepi.

Gadis itu mulai menarik headphone dari kepala, ia sisipkan ke lehernya. Dengan perlahan, tangannya membuka tas yang tergeletak di pangkuannya. Dari dalam resleting depan tas itu, ia meraih sebungkus rokok, bersamaan sebuah permen.

"Suasana ini... pasnya untuk yang mana, ya?" ujarnya dengn memperhatikan bawaannya.

Tiba-tiba ia menoleh, dan melihat ke kaca yang ada di belakang.

"Dilarang merokok!" Katanya, ketika melihat kertas, dengan tulisan larangan merokok.

"Maaf! Kamu ngga cocok di sini. Kita harus taat peraturan" ungkap gadis itu, berbicara dengan sebungkus rokok. Kemudian ia masukkan lagi ke dalam tas.

Jarinya mulai membuka bungkus permen. Itu adalah permen kaki. Permen favorit berwarna merah.

Perlahan ia menikmati, dengan badan yang bersandar pada tembok. Ia mulai memejamkan mata.

Belum lama berada dalam posisi nyaman itu, kini perasaannya jadi berubah seketika. Mata yang terpejam, berlanjut menjatuhkan setetes air mata.

Bibirnya mulai tertarik ke samping, menunjukkan raut yang sangat kecewa. Dibantingnya permen itu ke bawah.

Gadis ini menjerit dengan perasaan marah, seakan ia tengah merasakan sakit yang mendalam.

"Mereka ngga mencintaiku, Tuhan..." pekiknya dengan meremas kepalanya, menggunakan kedua tangan.

"Kemana aku harus pulang? Mereka tidak menginginkanku..." runtuk gadis itu, sambil menyeka air matanya.

Ia menelan ludah getirnya, berusaha menenangkan diri. Kemudian, diliriknya jam yang ia pakai di pergelangan tangan kiri.

Jam itu menunjukkan pukul 09.00

"Bahkan sampai jam segini. Mereka ngga menghubungi," lirihnya dengan emosi yang mereda.

Cinta Semi di MATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang