#14: Obscure

1.1K 193 1
                                    

"Cinta tumbuh bukan karena menemukan orang yang sempurna, melainkan kemampuan menerima kelemahan-kelemahan orang itu secara sempurna."

  —Khalil Gibran

๑۩๑๑۩๑๑۩๑

Hinata lumayan lama tidak merasakan pengawalan ketat di sepanjang sisi dia berdiri. Awalnya dia berada di pinggir jalan cukup santai sambil mengetik beberapa pesan yang ia kirim ke Nero, tapi pemuda itu barangkali sedang bekerja sampai sore hari di supermarket besar, dan jika memang itu yang terjadi, pesan itu tidak akan dibalas kecuali lewat jam enam sore.

Selesai mengirim pesan, Hinata menoleh ke samping setelah memasukkan ponsel ke dalam tas selempang kulit hadiah dari kakaknya selepas pria itu berkunjung ke Honolulu. "Bibi, aku tidak nyaman karena hal ini."

Kushina melirik sekelilingnya, tiga pengawal Inggris yang dia bawa mengenakan kacamata hitam dan terlihat tidak bisa berhenti mengamati sekeliling mereka dengan cukup teliti. "Lupakan mereka, anggap mereka orang lain."

"Begitukah?" mereka akhirnya memandang ke depan, menunggu lampu merah berhenti menyala terang di atas tiang rambu-rambu.

Setelah para pejalan kaki yang lain lebih dulu berjalan. Barulah mereka di bagian tengah segera mengambil langkah demi menyeberang. Kesalahan fatal di mana Kushina mulai merasakan jika kakinya lelah dan sakit. Ia mengenakan hak cukup tinggi dengan warna merah mencolok. Mantel bulu yang tidak harus dikenakan, tetapi sebenarnya tidak ada yang salah dari itu. Jepang tidak pernah mengkritik para orang-orang penggila fesyen berkeliaran di mana-mana dengan dandanan mereka yang aduhai.

Kushina tiba-tiba menunjuk toko kecil di depan setelah dia dan gerombolan teman belanjanya—katakanlah seperti itu—sampai di penyeberangan mereka mulai diberikan hadiah hamparan toko untuk siap dijelajahi. "Kita bisa berhenti di sana dan beli sepatu olahraga yang sepertinya jauh lebih nyaman aku kenakan."

"Apakah kaki Bibi sangat sakit?"

"Ya," Kushina meringis dan seakan ingin jatuh. "Sangat sakit. Sebenarnya aku tidak terlalu biasa mengenakan sepatu berhak tinggi dengan berjalan kaki. Aku lupa jika ini Jepang."

"Apa bedanya?"

"Menikmati Jepang lebih bagus untuk berjalan kaki," balasnya, yang kemudian buru-buru masuk ke dalam toko dengan pintu kacanya sangat mengilap dan jernih. Mereka semua bisa melihat bermacam sepatu kaula muda yang cukup trendi akhir-akhir ini.

Hinata memandangi sepatu pasangan di sana, diletakkan di rak ke tiga dari bawah. Sepatu putih dengan dua garis melintang di bagian kanan dan kiri tanpa tali. "Sneaker itu bagus," Kushina tiba-tiba muncul dari sampingnya, mengambil satu dan kemudian wanita itu bertanya, "Apa kau tahu ukuran kaki temanmu?" ia buru-buru menoleh. "Dia yang sudah baik membelikan aku roti lapis. Aku ingin memberikan hadiah untuknya. Apakah kau juga mau? Apa aku perlu membeli sepatu pasangan untuk kalian?"

Wajah Hinata memerah, "Ka-kami bukan pasangan, hanya teman."

"Hei, aku hanya bercanda," dia menyikut lengan gadis itu. "Kau tahu ukuran kakinya?"

"Tidak tahu. Tapi tingginya setara Neji—180cm, mungkinkah dia memiliki ukuran kaki yang sama?"

"Oh, sekarang aku tahu berapa ukurannya."

๑۩๑๑۩๑๑۩๑

Neji buru-buru berdiri setelah dia mendapatkan laporan dari seseorang, dan kini dia tidak lagi memiliki waktu untuk menikmati makanannya. Ia segera mengendarai Audi-nya menuju sebuah rumah sakit besar di tengah kota Tokyo. Dia tidak tahu apakah laporan yang baru saja dia terima itu benar adanya atau hanya lelucon dari mereka—mengenai teman Hinata yang cukup berbahaya sampai tidak segan-segan melukai seseorang.

E N O R M O U S ✔Where stories live. Discover now