PROLOG

130 49 5
                                    

   Wajahmu tak tersenyum, rupamu terlihat lara sehabis menonton film ini,
"Kurasa kamu terlalu menghayati ceritanya." pikirku,
Saat ini kita masih duduk di bangku dengan rasa haru, Film sudah selesai sejak beberapa menit lalu, para penonton film pastinya akan keluar sebagaimana mestinya.
   Kala itu aku memperhatikanmu, kamu yang sedang membetulkan kerudungmu, tanganmu gemetar.
Kamu masih mengusap air mata dengan sapu tangan milikmu sejak tiga menit yang lalu. "Ayo keluar, sudah sepi disini."
"Iya tunggu. Aku masih sedih..." jawabmu dengan nafas berat.

   Aku menunggu kamu selesai sembari memikirkan kembali salah satu potongan terenyuh, menurutku dalam film yang kita tonton barusan. Memoriku berputar kembali pada adegan ketika Jack mulai berjanji kepada Rose untuk tetap bisa bertahan pada malam ini, "Apa cinta mereka akan usai?" Pikirku.

   Ia meminta Rose naik ke atas bagian reruntuhan kapal Titanic, sementara dia, mengorbankan sebagian tubuhnya berada di dalam laut Antartika yang dingin. Semua tergantung pada waktu, tubuh Jack benar benar tidak dapat menahan dingin yang menusuk itu lagi, setelah terambang cukup lama di laut lepas Antartika, Jack akhirnya menutup matanya dengan tangan yang tetap berpegang kaku, berakhir dalam keadaan membeku di dalam air pada Samudra Atlantik, Rose yang mencoba melepas Jack tak kuasa menahan tangisnya,
  Ia melepas pegangan kedua tangan Jack dan membiarkan laut yang mengambil kekasih sekaligus cerita hidup cintanya.
   Ah, perpisahan itu merupakan ujian cinta yang sesungguhnya, bukan?
"Udah selesai, ayo keluar." ucapanmu membuyarkan pikiranku.

   Aku memperhatikanmu, jalan yang sedikit bungkuk dengan kepala tertunduk. Yah, cerita barusan benar benar menghabiskan energimu, kurasa.
Tatapan mata milikmu nampak lain, kulihat. Aku merasa terhubung dengan pikiranmu, mengerti bahwa kamu mengatakan takut akan perpisahan.
  Aku tahu jelas meskipun kamu tidak mengatakannya.
kata pepatah, "Mata adalah jendela hati"

--PARKING AREA--

   Kurasa terlalu cepat untuk pulang, Ah. Aku tidak siap hari ini berakhir, ragu rasanya memintamu untuk tetap bersama, mungkin jalan jalan, atau bisa sekedar makan sore sembari mengobrol kecil. "Ada apa, Fiq?" tanyamu bingung melihat gelagatku.
Aku memberimu ajakan kecil, "Mau pergi ke Supermarket? aku teraktir", ucapku.
   Kamu tersenyum riang, perempuan cantik ini mengeluarkan auranya.
Kebahagiaanmu juga bagiku yang melihatnya, aku rasa itu artinya iya,
aku mau.

-----

   Pagi ini cerah, hari kemarin indah. Bahkan lebih indah kemarin daripada waktu aku menantikan libur sekolah, Semua karenamu, aku selalu menikmati caraku jatuh cinta kepadamu.
Kemarin kita sepakat merencakan lari pagi hari ini, aku bangun agak telat, mungkin kamu akan marah, kurasa.
Tapi tak apa, aku menikmati marahmu selagi itu masih terlihat lucu untukku pandang.

-----

   "Aini, kalau aku jadi seniman, menurutmu bidang seni apa yang aku ambil?" ucapku bimbang. "Kenapa tiba-tiba pengen jadi seniman?"
"Nggak tau juga, aku pikir itu keren,
rasanya menyenangkan saja bisa menghibur orang banyak dengan karyaku." jawabku.
"Bagaimana jika aku menulis?"
   Kamu yang diam terlihat begitu bingung dengan tatapan serius, aku tak merasa pertanyaan ini membuatmu bingung seketika, namun pandanganmu terlihat benar seperti orang kebingungan.
"Aku senang dengan ide dan tujuanmu untuk menghibur orang lain dari tulisan, tapi penulis bukan cuma memiliki ide untuk menulis, kamu harus belajar dan memahami tentang konsep tulisan itu sendiri."
"Dengan siapa aku harus belajar?" tanyaku lagi-lagi membuatmu terdiam,
tanpa jawaban, kamu hanya mengangkat bahumu saja.

------

   Aku mulai berambisi menjadi penulis, beberapa kali mencoba buat cerita karangan singkat yang seolah hanya terbesit dari pikiranku, saat itu aku dihadapkan dengan dua hal, senang dan bingung. Senang karena bisa memiliki media untuk menyaluri isi kepala milikku ini, dan bingung sampai kapan kepala milikku ini akan bekerja dibawah hasutan ide ide gila yang sedikit-sedikit mulai sirna.
   Aku senang menulis cerita yang bertentangan dengan pikiran orang lain. Seperti gumpalan cerita fantasi yang hanya ada di isi kepalaku, tak salah karena pikiran manusia tidak semuanya sama dan mampu.

   Aku mengenal salah seorang teman yang menyukai dunia seni, terlebih lagi ia penulis. Beberapa cerita miliknya sudah dinovelkan, aku menganggap dia expert pada bidang ini. Ia memberitahu salah satu petua penulis asal Kota Bandung yang kupikir gaya tulisannya akan norak. Malah jauh dari kata norak, ini luar biasa, menyenangkan untuk dibaca.

   Aku sering kali meminta ia agar mengkoreksi alur juga bahasa dalam cerita yang kubuat. Semua jawabannya selalu merujuk pada kata "Kurang"
Sedikit menyebalkan, mengkoreksi tanpa memberi solusi, yang dia katakan hanya, "Berusaha" padahal semua yang aku kirim selalu dinilai sama. Aku percaya kepadanya bukan karena dia expert, tapi karena bukan cuma dia yang mengatakan itu. Ah, kenyataan yang menyulitkan untukku.

• KOMEN JIKA ADA TYPO / KATA YANG MEYINGGUNG •

Garis Lurus BersuaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang