Bagian Tiga Puluh : Di Pinggir Jalan

2.3K 200 0
                                    

Boleh dikatakan bahwa sekarang Amanda sedang dalam pengaruh hipnotis Ali. Tanpa ada angin dan juga hujan, dia mau di perintah untuk pulang bersama disaat ada hal penting yang akan Nichol katakan padanya.

Bagaimana jika kata pepatah itu benar, kesempatan tidak akan datang sebanyak dua kali. Mungkin percakapan penting itu sudah terlanjur lenyap di telan bumi, dan Amanda hanya akan di temani oleh rasa penasarannya sendiri.

Terus terang, Amanda tidak yakin kalau Ali benar tulus ingin mengantarnya pulang. Terlebih setelah beberapa hari ini melihat kedekatan dia dan Prilly, tak menutup kemungkinan kalau Ali sedang melancarkan sebuah rencana yang melibatkan dirinya tanpa meminta persetujuan secara terperinci.

Lihat saja, terhitung sejak Ali melajukan mobilnya diatas kapasitas rata-rata, cowok itu tak sama sekali berkeinginan untuk membuka topik pembicaraan. Begitu juga Amanda yang terkesan hanya diam menikmati. Tak sedikitpun terbesit dalam benaknya untuk menunjukan rasa takut karena memang Amanda sudah terbiasa dengan mode kebut-kebutan dijalan raya semacet Jakarta.

Selama sabuk pengamannya sudah terpasang sempurna, Amanda hanya perlu duduk di kursi penumpang sambil melipat kedua tangannya di depan dada, memandang jalanan yang penuh dengan kuda besi juga suara racauan dari klakson mobil.

Amanda mendesah pasrah ketika lagi-lagi pikirannya direnggut paksa oleh seorang Nichol.

"Rumah lo arah mana?" pertanyaan Ali tidak terlalu menarik perhatian Amanda meski begitu dia mengangkat tangannya sebagai simbol jawaban, mengarahkannya ke sebelah kanan, tepat Ali duduk dengan kemudinya, lalu menariknya kembali.

Amanda keheranan sendiri dengan cara berpikir Ali. Sebetulnya cowok ini sedang tertarik pada siapa? Dirinya atau Prilly?

"Kalian beneran gak pacaran?" akhirnya sebuah todongan yang sejak tadi terus bergulir dalam benaknya berhasil diucapkan juga.

Sementara Ali tipe cowok yang terlalu gila pada jalanan, jika sedang berkemudi suara apapun yang terdengar mengagetkan takkan berpengaruh apapun padanya. Untuk menginjak pedal rem secara mendadak seperti dalam film-film drama saja, Ali enggan. Sama artinya seperti todongan Amanda barusan hanya Ali jadikan angin lalu yang lepas landas tanpa permisi.

"Emang keliatan ya?" jangan salahkan Amanda kalau sekarang dia memandang lekat wajah ali sambil memangkup kedua sisi dagunya dengan kedua tangan.

"Jadi, kalian beneran pacaran?" Amanda berujar tidak percaya, mulut dan juga mata yang terbuka lebar sebagai bukti dari keterkejutan Amanda sekaligus menunjukan sisi lain dari  cewek tersebut.

"Menurut lo, emang kalau cowok sama cewek tujuh belas tahun tinggal di dalam satu rumah, ngapain?"

Baru kali ini Ali banyak bicara dengan Amanda, setelah pertemuan pertemuan mereka sebelumnya tak ada perbincangan lebih dari sekedar tegur sapa. Dan saat pertama kesempatan mengobrol itu ada, Ali justru memanfaatkan waktu dengan seburuk buruknya, yang telah dia tafsir ini pemanfaatan waktu sebaik-baiknya.

"Astaga! Kalian gak sampe bobo syantik bareng 'kan?" raut wajah Amanda yang semula terkejut berubah menjadi nampak panik luar biasa, menimbulkan kekehan kecil di rahang Ali yang tegas.

"Setiap malem malah," sesantai itu Ali menjawab kepanikan Amanda yang saat ini tengah berperang melawan ketegangan nya sendiri memikirkan nasib dari sahabat perempuannya itu.

"Astaga, lo bener-bener paman yang buruk. Bisa-bisa lo bikin sahabat gue melendung!" rasa kesal Amanda mendorong keinginannya untuk menggaruk wajah Ali menggunakan kuku-kukunya yang baru saja di beri cat warna-warni.

Jika cakaran pertama tidak berhasil sebab Ali telah lebih dulu menghindar, maka bisa di pastikan kalau cakaran kedua akan tepat pada sasaran

"Ck, apaan sih, toh kalau Prilly bunting juga gue gak akan bisa lari kemana-mana." decak Ali.

Someone In The World Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang