Prologue ;

726 124 36
                                    

Bagi Fajar sendiri, mengulang kilas balik hidupnya semasa di Hogwarts adalah sesuatu yang terbilang monoton. Tapi juga menyenangkan disaat yang bersamaan.

Ia, maksudku— Fajar, memiliki segalanya. Darah murni khas Slytherin, ketampanan, arogan mutlak, kekayaan yang tak akan habis hingga penghujung waktu, kecerdasan, dan kelicikan. Persis ular silver yang berada pada bagian kiri jubah kebanggaannya.

Oh demi Merlin, tidak salah jika semua wanita mengaguminya, siapa yang tidak kenal sang prefek termuda sepanjang sejarah sihir? Bukan hanya wanita Slytherin, tapi hampir semua wanita di Hogwarts mengidolakannya. Dari ujung kastil Gryffindor hingga ke ujung Hufflepuff sana.



Ada satu rumor yang mengatakan hantu toilet wanita yang bernama Moaning Widy juga sering menitipkan salam untuk Fajar jika salah satu siswa salah menaiki tangga dan berujung di toilet lantai empat.

Fajar adalah favorit semua orang. Nilai akademiknya berada jauh diatas rata-rata, apa yang Fajar butuhkan selalu tersedia. Tak jarang beberapa orang pada pagi hari mengantri di lobi kastil hanya demi melihat wajah seorang Fajar.

Ketika semua itu sudah didapat, lantas apalagi yang ingin Fajar cari? Semuanya lengkap.

Namun apa daya jika saat tahun ketiganya berlangsung, rasa aneh itu ada? Rasa yang membuat perutnya tergelitik. Rasa penghadang yang melelehkan sedikit hati dinginnya. Siapa sangka? Bukan kepada salah satu wanita pemujanya ia jatuh.

Melainkan pada seorang pemuda bermata bulat tahun kedua yang terlihat lugu, sekaligus cerdas disaat yang bersamaan. Lengannya yang tenggelam dalam balutan jubah biru— Ravenclaw, eskrim adalah satu diantara sejuta perumpaan di mata Fajar untuk pemuda tersebut. Kulitnya putih, bersih, menyala. Selalu membawa buku kemanapun ia pergi.


Dan Fajar bukan satu-satunya yang menyadari jika ia sebenarnya telah lumpuh oleh si biru Ravenclaw.


Sore menjelang malam di dekat dek danau. Seseorang menyenggol bahunya, dan ia tahu itu siapa. Bocah tahun pertama yang otaknya hanya sebesar biji kenari. Mengenakan jubah berwarna merah berlambang singa. Ia berjalan jumawa, mengabaikan amarah Fajar yang sewaktu-waktu bisa meledak.

"Oi, Ular! Kau melamun."

"Hai adik kecil Gryffindork. Kau tak berhak  menggangguku sama sekali, dan kita tidak punya urusan. Oh, sebaiknya kau kembali ke asramamu sebelum jam malam diberlakukan."

Yang dipanggil adik kecil hanya merotasikan bola matanya malas. Tidak peduli akan ancaman yang diberikan Fajar. Halah, jangankan prefek Gryffindor. Detensi pun ia tidak akan takut.

"Aku tahu kau mengincarnya, ular. Jadi mau kuberitahu sesuatu?"

Fajar sama sekali tak menunjukkan ketertarikannya.

"Cepat berbicara atau mantra verbal bisa membuat nyawamu hilang."

"Whoa, mengerikan sekali ancaman prefek kita. Baiklah, akan kuberitahu."

Ia mencondongkan badan ke arah Fajar, bermaksud membisikkan kalimat rahasia yang seolah jika didengar orang lain, maka riwayat hidupnya akan tamat.

"Namanya— tunggu, aku lupa."

Fajar mengernyit, bingung.

"Apa maksudmu bajingan kecil?"

"Lelaki yang bisa menyala dalam gelap, aduh— maksudku lelaki Ravenclaw yang Glowing in the Dark."

Kali ini Fajar yang merotasikan bola matanya.

"Bicara yang jelas atau kukebiri."

"Kau akhir-akhir ini sering memerhatikan lelaki itu kan? Dia sangat pintar asal kau tahu, imut juga, matanya besar. Manis, ternyata pilihan kak Fajar memang lumayan."

Fajar tersentak. Anak ini tahu?

"Namanya Ian, Rian Ardianto. Gila buku, dan tak suka banyak bicara."

Ia bangkit, menepuk jubahnya yang berasa kotor di bagian belakang. Lantas meninggalkan Fajar yang mematung. Masih mencerna informasi yang baru saja diberikan.

"Aku berhutang padamu Ihsan begundal kecil."

Pemuda yang diketahui bernama Ihsan melambai. Kembali ke asrama sebelum matahari benar-benar tenggelam.

"Oh, jadi namanya Ian? Manis juga. Seperti orangnya."





...

Hope you enjoy this.
Mind to leave a vomment?

All in all ily ❤

Hogwarts- (Fajri + Jothony) AUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang