Vere tentu tidak langsung pulang. Ia berjalan kaki menuju taman dekat rumahnya. Ia duduk di sana, mencoba mengatur nafasnya, bahkan perasaannya. Kejadian yang baru saja terjadi membuatnya kesal setengah mati. Ia pikir, Bertrand sudah akan berlalu dari benaknya, namun ternyata ia salah.
Bertemu dengan Bertrand membuatnya kacau. Dinding pertahanan yang ia bangun terasa retak. Bertrand lah orang yang selalu ada untuk Vere ketika ia belum bertemu dengan ketiga sahabatnya itu. Bertrand lah yang menjadi pundak kapanpun Vere membutuhkan sandaran.
Berpisah dengan seseorang yang telah dicintai terlalu dalam memang sangat menyakitkan dan Vere tahu betul rasanya seperti apa. Walaupun itu adalah luka lama, Vere takut luka itu terbuka lagi dan membuatnya hancur dari awal.
Vere yang dulu jauh berbeda dengan Vere sekarang. Dulu, ia seperti bayangan di antara orang banyak. Tertutup dan tak ada yang sadar akan keberadaannya. Di saat ia butuh teman, hanya Bertrand yang ada untuknya. Bertrand telah mengenal Vere jauh sebelum Renata, Audy, bahkan Jena mengenalnya. Setiap peristiwa penting selalu dilewatinya bersama Bertrand.
Namun, Bertrand jugalah yang menghancurkan hatinya. Melupakan Bertrand adalah hal terakhir yang sanggup ia lakukan, dan ketika ia mulai melupakan nama itu, Bertrand malah muncul kembali.
Vere lelah memikirkan ini semua. Ia terkulai lemas di salah satu ayunan di taman itu. Ia duduk sembari memejamkan matanya, mencoba menikmati keheningan yang menyelimutinya.
"Lo kenapa?"
Hah siang-siang kok ada setan sih.
Vere perlahan membuka matanya.
Oh. Itu. Rei. Lagi."Hah? Ga kenapa-kenapa kok, cuma...."
"Ga mungkin orang nangis ga ada sebabnya," potong Rei, namun tetap suaranya terdengar begitu lembut.
Vere lalu meraba pipinya. Basah. Vere bahkan tak sadar sejak kapan ia menangis.
"Mau cerita?" Tanya Rei.
Vere menggeleng dan kembali memejamkan matanya sambil menengadah ke atas.
"Di sini nyaman ya, sayang jarang ada yang kesini," Ucap Vere.
"Orang cuma bakal tau dimana tempat ternyamannya di saat mereka lagi hancur," Jawab Rei.
Vere membuka matanya dan menatap Rei. Ia membenarkan ucapan itu dalam hatinya. Ia heran, kenapa Rei sering muncul di saat seperti ini.
"Lo ngapain di sini?" Tanya Vere.
"Kayak yang gue bilang tadi, orang cuma tau dimana tempat ternyaman mereka di saat mereka lagi hancur."
"Ya terus?"
"Gue mau gantiin taman ini buat jadi tempat ternyaman lo di saat lo hancur," Jawab Rei tanpa menengokkan kepalanya pada Vere. Ia menatap lurus ke depan.
"Rei, gue ga hancur," Bantah Vere.
"Ya setidaknya belom," Ucapnya lagi."Ya kalo gitu gue mau jadi tempat ternyaman lo supaya lo ga hancur," Jawab Rei.
"Kenapa emangnya?"
Tanpa menjawab pertanyaan Vere, Rei berdiri dari ayunan. Ia berdiri di depan Vere dan mengulurkan tangannya.
"Ikut gue yuk," ajaknya.
"Mau kemana?"
"Nanya mulu kayak pembantu baru! Udah ikut aja," Jawab Rei sambil membantu Vere berdiri dari ayunan.
Rei mengajak Vere ke sebuah perpustakaan tua tingkat dua di dekat taman itu. Vere bahkan tidak pernah menyadari keberadaan perpustakaan itu. Bangunan itu terlihat menarik, namun tua dan sepi. Ketika masuk ke dalam bangunan, Vere melihat interior vintage yang terlihat nyaman.
"Percaya atau enggak, gue satu-satunya orang yang kesini setiap hari. Bangunan ini udah dilupain lamaaaa banget," Ucap Rei.
Vere menuju salah satu rak terdekat dan ia melihat jejeran buku-buku yang kertasnya sudah menguning. Bahkan, buku-buku tersebut sudah diselimuti debu. Anehnya, Vere tidak merasa takut sama sekali berada di dalam bangunan tua itu. Padahal, Vere termasuk seorang penakut. Mencuci muka di kamar mandi saja ia harus menahan takut setengah mati.
"Takut pas buka mata ketemu setan." Begitu katanya."Lo tau tempat ini dari mana?" Tanya Vere penasaran.
"Ini tempat gue main dari kecil, Ver. Dulu, papa yang ajak gue kesini."
"Sini deh, lo harus liat yang ini," Ucap Rei sambil menarik tangan Vere menuju salah satu rak.
"Buku-buku anak kecil? Kenapa?" Tanya Vere, bingung.
"Ini rak pertama yang papa tunjukkin ke gue."
"Lo sama bokap lo deket banget ya? Gue iri deh."
"Iya."
Vere lalu menuju ke meja panjang dengan kursi yang berjejer di sisi-sisinya.
"Kok bersih meja kursi nya? Lo yang bersihin ya?""Iya."
"Lo suka baca buku ya?"
"Engga."
"Terus kenapa selalu main ke perpus?"
"Ini tempat sisa kenangan gue dan papa, Ver. Gue kesini cuma buat duduk, denger lagu, mengenang papa, bahkan tidur atau makan."
"Bokap lo......."
"Meninggal waktu gue SMP," Potong Rei.
"Maaf Rei, gue ga maksud...."Ucap Vere sambil menunduk, menggaruk tengkuknya dengan canggung, tak berani menatap mata Rei.
"Gapapa, gue suka punya temen buat berbagi cerita. Sekarang, gue mau lo buat berbagi cerita lo ke gue. Lo boleh jadiin tempat ini sebagai tempat lo mikir, tempat main, tempat apapun itu. Yang jelas, gue mau berbagi tempat ini dengan lo," Jelas Rei sambil menatap Vere. Ia mengacak rambut Vere dengan lembut dan tersenyum tulus padanya.
"Makasih Rei," Ucap Vere sambil ikut tersenyum, bahkan sedikit tertawa.
Hanya itu yang bisa diucapkan Vere. Ia kehabisan kata-kata. Vere hampir saja menangis mendengar kata-kata Rei. Diperhatikan oleh seseorang selalu membuatnya merasa senang.Seandainya gue dapetin perhatian ini di rumah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Maaf.
JugendliteraturMelalui sepenggal kisah yang penuh genangan airmata, sebatas luka dalam ruang kehampaan, dan sepercik harapan yang tertiup angin di kelamnya malam, Ia mengaku ia lelah.