Someone say that you are free to choose, but not free from consequence of your choice. Kamu bebas untuk memilih, tapi kamu tidak bebas atas konsekuensi dari pilihanmu sendiri. Sibuk, lelah, capek, mahasiswa mana yang tidak berteman baik dengan ketiganya? Tentu sudah tidak asing lagi. Ungkapan-ungkapan tersebut seringkali menjadi bahan keluhan para mahasiswa yang merasa dirinya paling menderita. Tapi, bukankah menjadi mahasiswa itu pilihan kita? Bukankah keberadaan kita disini adalah apa yang kita impikan bahkan sejak kita masih duduk dibangku sma? Bukankah menjadi sibuk, lelah, dan capek pun adalah realisasi dari pilihan kita? Lantas, kenapa masih mengeluh?
Setiap pencapaian seseorang pasti ditempuh dengan berbagai jalan yang berbeda-beda. Ada yang mungkin pencapainnya dilalui dengan mudah, karena tanpa perlu test dia mampu menyandang status sebagai mahasiswa Universitas Negeri. Namun, tak sedikit juga yang bahkan harus berusaha lebih keras lagi untuk mencapai apa yang diinginkannya itu. Atau mungkin, ada kamu diantaranya? Jika ya, ternyata perjalanan kamu untuk sampai disini cukup jauh. Sejak saat itulah kamu mulai mengerahkan seluruh perjuanganmu.
Saat itu, kamu harus merasakan kecewa teramat dalam karena melihat tulisan merah yang tentunya itu bukanlah jawaban dari apa yang kamu harapkan. Disaat orang lain mungkin mampu tertawa lepas, kamu harus berteman baik dengan buku tebal. Berusaha berdamai dengannya, kapanpun itu. Melewati setiap pagi, siang, sore, dan malam dengannya, hanya untuk sebuah pencapaian yang sudah kamu duduki sekarang ini.
Tidak berhenti disitu, banyak diantara kalian yang mungkin masih gagal berada ditahap itu. Lagi lagi, kamu diharuskan untuk membuka hasil yang bertuliskan bahwa kamu harus tetap semangat dan jangan putus asa. Mungkin diantara kalian ada yang berteriak menangisi kegagalannya, ada juga yang hanya terdiam, tapi matanya menatap dengan tatapan yang amat berbinar. Intinya, saat itu kekecewaan adalah hal yang mutlak tanpa perlu pengungkapan lagi.
Berhari hari, atau bahkan berminggu minggu pikiranmu diracuni dengan opini bahwa kamu hanyalah orang bodoh yang bahkan tidak berguna. Sudah ingat? Betapa kamu pernah jatuh sedalam itu, betapa kamu pernah terpuruk sejauh itu. Finally, you realize that life is full of sacrificing. You say to yourself that you'll accept it and improve it.
Tidakkah kita sadari bahwa keberadaan kita adalah apa yang kita kejar dengan sekeras itu? Tidakkah kita egois jika masih harus mengeluh, sementara masih banyak diluar sana yang tak seberuntung kita. Entah secara finansial, atau bahkan harus menjalani gapyear demi terwujudnya harapan mereka sebagai mahasiswa Universitas Negeri.
Akankah kita menyianyiakannya? Setiap tugas yang ada, setiap beban yang ada, semuanya merupakan pilihan kita. Kita hanya perlu lebih open minded dalam menyikapinya. Mau kita tertawa bahkan menangis sekalipun tidak akan mengubah semuanya. Jika semua tugas dan beban itu kita biarkan begitu saja tanpa ada tindakan nyata.
Terlebih kita sebagai perempuan yang disini berposisi sebagai minoritas. Kalau hanya bermodalkan cantik, lucu, dan menggemaskan, boneka pun sama. Beautifull without brain? Mau jadi apa? Maka dari itu, menjadi kuat dan mandiri bukan lagi sebuah pilihan, melainkan sebuah keharusan. Benar apa yang mereka bilang, teknik keras itu bukan lagi wacana, karena kita mengalaminya. Mungkin telapak tangan kita tidak selembut dulu, kotor dan terik mentari kan jadi teman baik. Tapi itu tak apa, kita akan melakukannya semampu yang kita bisa. Karena ini pilihan kita, dan untuk kita.
Bukan hanya untuk diri kita sendiri, tapi juga untuk 2 insan yang senantiasa memeluk kita melalui doa. Iya, siapa lagi kalau bukan mereka? Orangtua kita. Bukan hal yang mudah bagi mereka melepaskan kita untuk jauh dari mereka. Mereka akan terlihat tenang hanya dengan mengetahui bahwa kita baik-baik saja disini. Tanpa kita tau sebenarnya mereka melewati malam-malam dengan rasa takut, rasa cemas, juga rasa rindu. Takut bahwa tangan lembut kita takan mampu menahan perihnya belajar, cemas bahwa senyum manis kita akan luntur diterpa lelah, dan rindu akan hadirnya tawa manja kita yang selalu mereka nikmati setiap paginya.
Tapi mereka sadar, bahwa mereka tak boleh egois. Mereka tau bahwa angan dan mimpi kita amatlah tinggi. Tak mungkin rasa takut, cemas, dan rindu itu menghalangi apa yang ingin kita raih.
Lalu, apalagi yang bisa mereka lakukan selain merelakan dan mendukung semua yang terbaik untuk kita. Sungguh, hanya surga yang mampu membalas semua perjuangan mereka. Lantas, apalagi yang bisa kita lakukan selain menjadi sebab bagi mereka menyunggingkan bibir untuk tersenyum. Tersenyum karena apa? karena melihat anaknya yang dulu lemah tak berdaya ternyata lebih kuat dari apa yang mereka duga.
- ega galuh pratiwi
civil engineering'17
YOU ARE READING
Ngeluh (?)
RandomBeauty without brain? Mau jadi apa? Maka menjadi cerdas, kuat, dan mandiri bukan lagi pilihan, melainkan sebuah keharusan.