"Waktu adalah koin paling berharga dalam hidupmu. Kau sendiri yang bisa menentukan bagaimana koin tersebut dihabiskan. Berhati-hatilah, jangan sampai membiarkan orang lain menghabiskannya untukmu."
—John Dryden
๑۩๑๑۩๑๑۩๑
Pagi buta sampai siang hari, keduanya tetap berada di dalam selimut bersama. Mereka bahkan memiliki keinginan yang sama untuk tetap berduaan sepanjang hari. Bangun-bangun, mereka sekali lagi bercumbu, lalu Nero bertanya, "Mau memulai lagi?" sampai beberapa kali tak terpuaskan—dan tentu saja selama mereka menginginkannya—tidak ada acara paksa memaksa—selama mereka menikmati bersama—lalu ketika sore hari, mereka terbangun saling memandang seolah sebelumnya mereka tidak melalui sebuah kesulitan.
"Apa kau lapar? Mau pesan sesuatu atau kita pergi keluar mencari makan?" Nero menawari, ia tidak tega sebenarnya untuk membawa Nata keluar, pasti dia tidak bisa berjalan—mungkin bisa, tapi Nata akan benar-benar lelah. Tepat masih terngiang-ngiang tawaran itu di dalam kepalanya, Nata mulai merangkak ke atas tubuh Nero. "Kau tidak mau makan?"
"Apa kau lapar?"
"Sebarnya tidak, hanya mungkin kau yang lapar," bisik Nero di tengah gelap gulita kamarnya. Petang makin merambat. Sinar matahari sore yang membias tak lagi terlihat mencetak bayangan mereka di atas lantai kamar. "Kau ingin membuat ramen lagi?" tawar Nero kali ini dengan putus asa, karena dia hanya memiliki itu di dalam sepen di dapurnya.
"Aku tidak akan cerewet mau makan apa, kalau mau pesan pizza atau ramen dari langganan kita dan dikirim ke sini tidak apa-apa. Atau kita bisa memesan ayam goreng? Sake? Bir?"
Nero tergelak sembari jari-jarinya merapikan rambut Nata yang berantakan. "Dari sini aku tahu, kau sangat lapar," kemudian Nata mendekat dan mengecup bibir Nero. "Kau tidak ingin turun dari ranjang?"
"Sepertinya aku mampu untuk seharian bersamamu,"
"Kau yakin?" di waktu yang sama gadis itu tetap berada di atasnya dan memeluk tubuhnya. Bahkan Nero tidak akan menolak tawaran menarik itu. Sebanyak apa pun dia berada di dalam Nata, sebanyak apa pun dia berteriak saat berada di puncak, mencium gadis itu dan kehilangan napas—Nero tidak bosan, serta dia sejujurnya menginginkan hal yang sama, untuk mengatakan tidak ingin berhenti terus meledakkan hasratnya di dalam diri Nata. "Kau ingin melakukan sekali lagi?"
"Aku rasa itu bukan pertanyaan bagus," bisik Nata, sembari gadis itu memandang keluar jendela apartemen. Gedung-gedung apartemen yang lainnya, dari yang lebih kecil ataupun lebih tinggi dari gedung apartemen Nero, mulai tampak indah saat pencahayaan di setiap jendela-jendela itu dinyalakan. "Kurasa kita tidak akan terpuaskan sebanyak apa pun kita melakukannya. Tapi, untuk saat ini aku hanya ingin berada di atasmu dan mendekap tubuhmu."
Nero makin mendekap Nata dan dia menyempatkan mencium kepala gadis itu. "Kau tidak akan mendapatkan apa-apa dari itu," ujar Nero.
"Salah besar!" balas Nata. "Tentu saja aku mendapatkan kenyamanan," Nero tertawa kali ini. "Tapi, apakah kita bisa pergi ke suatu tempat?"
"Apa pertanyaan itu tercipta karena ada pada dirimu ingin kabur lebih jauh lagi?"
"Apakah kau tidak bisa mengajak aku pergi?" Nata pun makin mendekap. Tubuh Nero yang sangat berotot terasa begitu hangat. Kulit mereka yang bergesek dan justru karena itulah mereka merasakan kehangatan masing-masing, serta jauh lebih menginginkan kebersamaan. "Selama ini, aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan sebagai anak ayahku."
"Bukankah kau beruntung memiliki seorang Ibu dan Ayah? Bahkan seorang kakak yang sangat peduli padamu?"
"Mereka menutup sesuatu, aku benci itu."
YOU ARE READING
E N O R M O U S ✔
LosoweKeluarga kaya raya kehilangan putra mereka dalam perjalanan keliling Eropa. Sementara ada dua pria Jepang yang mengadopsi anak laki-laki dan menjadikannya sebagai pembunuh bayaran andal. Tepat dua puluh tahun kemudian, anak laki-laki itu mulai menge...