Bagian Tiga Puluh Tiga : Masa Eksekusi

2.2K 214 6
                                    

Di temani Bu Sekar, bu Fani duduk di bangku berputar kebanggannya. Sambil mengatupkan mata dalam-dalam, tangannya bersilang di depan wajah persis seperti orang yang sedang berpikir keras.

Bu Sekar mengamati dua anak asuhnya yang terlihat jauh dari kata baik-baik saja. Beberapa memar dia dapati di wajah Ali juga Nichol, sudut bibir yang dua-duanya mengeluarkan darah segar, juga beberapa kali mendengar ringisan singkat dari mulut muridnya itu.

Tanpa di sadari bu Sekar menggeleng lemah seraya menghembuskan napas lelah. Sejak awal kedatangan Ali, dia  memang sempat memergoki Nichol memandang Ali dengan tatapan nyalang, juga beberapa kali bu Sekar memergoki Ali sedang memandang Nichol penuh persaingan.

Entah apa yang membuat mereka mengibarkan bendera perang dingin itu, tapi bu Sekar yakin salah satunya karena Prilly. Sebab, lebih dari tiga kali juga dia menangkap basah Nichol maupun Ali tengah memandang Prilly menggunakan tatapan kasih sayang. Mungkin itu salah satu penyebab perkelahian ini terjadi, pikir bu Sekar.

"Jadi, siapa yang menang di perkelahian ini?" masih dalam posisi mengatup, kelopak mata bu Fani perlahan terbuka hingga melihat jelas dua anak muridnya yang berwajah bonyok.

Mereka diam setelah beberapa saat saling melirik satu sama lain, sama halnya dengan bu Sekar yang dibuat bungkam enggan untuk menjawab.

"Apa yang kalian jadikan taruhan?"

Lagi, bu Fani melontarkan pertanyaan yang tidak dapat di jawab jujur oleh kedua anak didiknya itu. Nichol hendak membuka mulut untuk menjawab, sebelum niatnya terpaksa tunda oleh sebuah gebrakan meja.

"Kalian sudah tidak puas bersaing dengan prestasi?" bukan tidak mungkin bu Fani tahu tentang persaingan nilai yang beberapa saat lalu mereka lakoni.

Atas laporan nu Sekar yang mengatakan bahwa Nichol dan Ali mengungguli beberapa nilai di kelas, bu Fani langsung tertarik tentang motif yang membuat Ali mau menyaingi Nichol disaat orang-orang enggan melakukannya.

"Kalian itu pelajar, bukan petinju. Kalau mau berkelahi silahkan diluar sekolah. Buka baju kalian, jangan sematkan bagde name sekolah di baju kalian." tunjuk bu Fani pada bet lokasi sekolah yang tertempel rapih di baju kusut Nichol. "Karena ulah kalian sekolah kita bisa aja anjlok prestasi, paham?" lalu penekanan kalimat jelas tergambar dalam notasi ucapan bu Fani yang satu ini.

Bu Sekar nampak tertunduk, selain tidak tega melihat dua anak didiknya di kenai cacian sekaligus cibiran, wanita itu memandang Nichol tidak percaya. Salah satu murid kebanggaan di kelasnya, yang tidak pernah masuk dalam daftar list anak bermasalah di ruang kesiswaan, membuat bu Sekar yakin kalau Nichol punya maksud yang kuat untuk menjadikan dasar alasan atas perkelahian nya kali ini.

Sedangkan saat bu Sekar memandang Ali, diapun itu menatap terluka seperti tatapan Ali sekarang ini, penuh luka dan beban. Sekar tidak tahu kapan terakhir kali melihat Ali tersenyum, sebab anak yang baru saja menjadi muridnya ini jarang sekali tersenyum. Kalau di pikir-pikir, Sekar pernah melihat Ali tersenyum saat berdua bersama Prilly, selepas itu dia selalu melihat Ali murung dengan tatapan terlukanya.

Ada hal yang menarik dalam diri Ali, itulah penilaiannya dari sudut pandang seorang pembimbing. Apapun itu, Sekar tidak tahu dan itu pula yang membuatnya penasaran tentang sosok murid barunya ini. Terlebih lagi soal alasan Nichol dan Ali berkelahi, itu cukup membuat Sekar dilanda rasa penasaran juga stress dalam waktu yang bersamaan.

"Apa ibu harus keluarin kalian?" tanya bu Fani melemah, namun tetap tegas.

Setelah Nichol yang mengangkat wajah nya hingga menatap bu Fani dengan jelas, Ali menyusul memandang kepala sekolahnya nanar. Sementara bu Sekar sangat terbelalak begitu juga Nichol yang langsung terperangah kaget setelah mengangkat wajahnya.

"Bu, pikirkan dulu. Nichol salah satu anak berprestasi di sekolah kita." pada yang lebih tua dan mempunyai jabatan tinggi bukan kah kita harus berlaku sopan dan santun di kepadanya? Begitulah yang dilakukan bu Sekar pada bu Fani, yang notabenenya berumur lebih tua dan juga berjabatan lebih tinggi darinya. Dengan mengusap bahu bu Fani, mungkin kepala sekolah itu akan turut luluh karena kesantunannya.

"Bu, saya terima apa aja hukumannya, asal jangan dikeluarkan." pinta Nichol diselimuti wajah panik.

Baru saja Nichol akan menata kembali hidupnya bersama Lidya dan Dimas, masalah baru terus saja bermunculan satu persatu, di mulai dari kedatangan Ali dan menjauh nya Prilly, itu sudah sangat mengusik ketenangannya yang dia tata dengan hakiki.

"Kenapa saya harus mempertahankan murid bebal kayak kamu?" bu Fani menaikan sebelah alisnya, sangar. Bahkan bu Sekar turut menatap bu Fani gusar seraya melonggarkan elusannya di bahu bu Fani.

Tidak sampai dua kali Nichol melakukan kesalahan, tapi peraturan di sekolah yang ketat membuatnya bungkam ketika masa eksekusi akan segera di layangkan.

"Kamu," tunjuk bu Fani pada Ali, "Kamu anak baru kan?" ketenangan Ali yang mengusik penglihatan bu Fani membuatnya geram untuk tidak menegur.

Bukannya melakukan pembelaan atau sekedar menunjukan rasa bersalah, Ali jauh dari dua kalimat tersebut.

Bokongnya dibiarkan bersandar, sedangkan pandangannya sibuk menyortir keadaan sekitar, sebelum dia putuskan untuk menjawab.

"Iya, saya anak baru." selain bu Fani, bu Sekar pun nampak geram melihat murid barunya yang menampilkan kesan tak acuh pada ancaman bu Fani selaku kepala sekolah di SMA Clever.

Bukan apa-apa, selama Ali menjadi murid di kelasnya dia memang memiliki sisi yang tertutup terkesan arogan, tapi tak sama sekali Sekar bayangkan kalau Ali seacuh ini di hadapan kepala sekolah dan wali kelasnya.

Sikap Ali sukses membuat bu Sekar memijit pelipisnya setelah menengok bu Fani telah memasang wajah garang.

"Ibu lihat sendiri siapa yang nyerang saya duluan, kan?"

Tanpa disuruhpun Nichol sudah menempatkan pandangannya pada wajah Ali yang terkesan selengean.

"Ibu tahu Nichol tidak akan menyerang tanpa sebab, orang cerdas tidak akan berlaku tanpa memikirkan resiko." nampaknya bu Sekar setuju dengan ucapan bu Fani, terlihat jelas ketika Ali meliriknya bu Sekar tengah mengangguk setuju.

"Ibu udah tanya apa tujuan dia mukul saya duluan?" dibanding menjadi seorang murid, Ali lebih cocok menjadi seorang pengacara. Caranya melobi ucapan bu Fani sontak membuat bu Sekar berpikir bahwa Ali adalah anak yang sama cerdas nya dengan Nichol.

"Ada alasan yang gak bisa saya jelaskan bu," kata Nichol menyerempet.

"Kalau alasan kalian karena seorang siswi atau perempuan, ibu tidak bisa tolerir kenakalan kalian kali ini." lagi, bu Fani memandang Ali geram, "Ali hentikan berguyon!" sentak bu Fani menunjuk Ali untuk segera berhenti bermain bersama bangkunya.

Cowok itu menurut tanpa terkejut.

"Jadi apa sebenarnya alasan kalian berkelahi?" tanya bu Danu setelah berangsur tenang.

"Seseorang punya privasinya sendiri untuk dia simpan dan jaga, bu. Jadi saya pikir ibu gak berhak memaksa kami untuk mengatakan apa alasan kami berkelahi," suara itu berasal dari bibir ranum Ali, yang setelahnya dia beringsut bangkit.

Bu Fani, juga bu Sekar dan Nichol mendongkakkan pandangan kearah Ali yang siap berlalu. Padahal mata bu Fani sudah memerah padam, tapi Ali tetap menggeser bangkunya mundur agar tercipta jarak untuk jalannya menuju pintu keluar.

"Ali," bu Sekar terperangah ketika Ali benar-benar hendak melegang pergi, padahal hukuman masih belum di deklarasikan oleh sang kepala sekolah.

"Kalaupun saya harus di keluarkan dari sekolah, bu Sekar jangan khawatir saya akan tetap baik-baik aja selama saya masih punya kaki untuk berdiri." kalimat terakhir Ali membawanya hingga pintu keluar, membiarkan tiga orang didalam terbelalak seperti sedang terhipnotis ucapan Ali. Bahkan bu Fani sekalipun diam tak melarang Ali untuk pergi dari ruangannya.

****

19, Oktober 2018

Someone In The World Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang