Pulang

100 15 17
                                    

flashfic Chartreuse
(Lanjutan dari 18 - 13)

Alexander Aranda
Chacho
Ezra Aranda

*timeline tidak sesuai dengan OC

*timeline tidak sesuai dengan OC

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

***

"Ezra akan membunuhku."

"Alex, tenanglah."

"Dia marah sekali padaku saat kutelepon tadi. Dan ini sudah hampir jam delapan."

"Kenapa untuk urusan begini kau selalu takut pada adikmu? Kau ini Alexander Aranda, ingat? Satu-satunya anggota Mara yang kupandang setara—"

"Diam. Aku sedang malas meladeni omonganmu."

"Ya ampun, galak sekali kau."

Langkah kedua pemuda itu berhenti di depan pintu rumah kecil dengan kaca jendela hitam. Chacho menurunkan payung, meletakkannya di samping pintu.

Alexander menghela napas panjang sebelum membuka pintu.

Sedikit cahaya dari luar menerangi ruang tamu sempit berdinding bata. Hawa dingin menyergap. Sedingin sikap seorang bocah berusia 10 tahun yang bersedekap, duduk di atas sofa, menatapnya tajam. Ia tidak memakai seragam sekolah, hanya jins berpadu kaus putih polos yang dirangkap dengan kemeja hitam kotak-kotak lengan pendek. Akan tetapi, ransel telah siap di sisi sofa, dengan botol minum terisi penuh pada jaring samping ransel.

Alexander mendesah, tangan terangkat meraba sakelar di balik pintu. "Setidaknya hidupkan—"

"Listrik mati." Ketus jawaban yang ia dapat.

Alexander menurunkan tangan, menunduk sebentar. "Ez, maafkan aku."

Chacho masuk ke ruang tamu, matanya langsung tertuju pada semua benda di atas meja. Ia lega tak ada lagi jejak morfin yang semalaman dikemas Esteban dan dirinya di sana. Dan, kemudian ia melihat dua kaleng bir, posisi tutup telah terbuka.

Chacho melotot, lantas buru-buru merangkul Alexander, berusaha menghalangi pandangan sahabatnya itu tertuju pada meja. "Ehm, Papi, sebaiknya kau cepat mandi air hangat. Biar aku yang mengantar Ezra ke sekolah."

Ezra mengernyit melihat apa yang dikenakan sang kakak. Anak itu masih bersedekap dengan satu kaki terangkat di atas kaki lain. "Sempat tukeran baju, ya, kalian."

Chacho mengerjap, cepat berbalik menghadap Ezra. "Oh, bukan, cuma dia yang pakai punyaku. Aku tentu saja tak muat pakai kaus dan jaketnya. Kakakmu tadi basah kuyup soalnya."

"Aku tak bertanya padamu." Ezra mengalihkan perhatian pada Chacho, tampak kesal.

"Sudah sarapan, Ez? Minum susu?" tanya Alexander lirih, melepaskan diri dari rangkulan Chacho.

"Sudah. Esteban yang buatkan. Kami sarapan bersama. Aku pakai roti, dia pakai morfin. Dan dia tak minum susu." Ezra menunjuk kaleng bir dengan ekor matanya.

Chacho membeku di tempat. Alexander mengenali jejak sang Letnan di atas meja, lantas menghadapkan badan ke arah Chacho. "Ada Esteban, di sini? Di rumahku? Mabuk? Menemani adikku?!"

"Eh... itu..." Chacho buntu, melirik Ezra sebentar lantas takut-takut menatap Alexander yang nanar menatapnya. "Dia tidak mabuk, sumpah, hanya—"

"Dia pakai morfin! Di sini, di rumahku!" seru Alexander frustrasi. "Apa yang kubilang padamu tentang anggota Mara, hah?!"

"Setidaknya dia MENEMANIKU walaupun mabuk," potong Ezra jemu, berdiri dengan kedua tangan terkepal di sisi tubuh, membuat sang kakak berpaling cepat padanya dengan raut pucat.

Chacho memperhatikan keduanya, merasa bersalah. Ia tak ingin dua kakak-adik ini bertengkar gara-gara dirinya. Ia tahu, jika ia tidak terlambat menjemput Alexander, semuanya tidak akan kacau seperti ini. Alexander capek, kedinginan, baru menghadapi hari yang berat di tempat kerja, sementara Ezra juga dalam keadaan marah karena ditinggal terlalu lama. Jika mereka melampiaskannya pada satu sama lain, maka Chacho tak bisa membayangkan apa yang bisa terjadi selanjutnya.

"Jangan khawatir, orangnya sudah pergi. Bilang dia harus pergi sesuai perintah El Jefe sebelum kakakku datang," lanjut Ezra datar, tapi tatapannya sinis sekali pada Alexander.

"Ez, maafkan aku." Alexander tampak benar-benar kalah. "Aku sungguh minta maaf. Aku janji tak akan telat pulang lagi dan—"

"Aku mau pulang." Ezra berkedip, matanya mulai berair. "Aku sudah menata semua barangku di dalam ransel. Antarkan aku pulang."

Alexander refleks memijat kening, sementara Chacho tampak kaget.

"Pulang? Pulang ke mana? Rumahmu kan di sini, Ezito," tanggap sang ketua geng heran.

Ezra menatap Chacho sejenak, lalu beralih pada kakaknya, yang menurunkan tangannya dari kening dengan cepat. "Jakarta," ucapnya kaku. "Aku mau pulang ke Jakarta. Aku benci di sini!"

"Ez, kumohon." Raut Alexander pucat pasi sekarang. Pemuda itu benar-benar tak siap diberi ultimatum menyakitkan seperti ini oleh Ezra. Seolah menegaskan bahwa ia memang seorang kakak berengsek yang tak becus menjaga adik sendiri, sesuai amanat mendiang ayahnya.

"Cepat antarkan aku ke bandara, Alex!" Ezra menggeram.

Alexander membuka mulut, ingin bicara lagi, tapi buru-buru mengatupkannya kembali. Ia menghela napas berat, menunduk.

Chacho menggaruk kepalanya yang plontos. "Anu... Ezito, sudah beli tiket? Ini baru Senin, lho. Pesawat ke Amerika kan tiap Kamis dan Sabtu. Dari sana baru ke Laut Cina, terus ke Jakarta, ya kan? Alex pernah menjelaskannya padaku."

"Bukan Laut Cina," desah Alexander, menggeleng, akhirnya mengangkat wajah, menangkap satu bulir air lolos dari mata kiri Ezra.

Ezra mengentakkan kaki, mulai menangis. "Pokoknya aku mau pulang sekarang!"

"Sini." Alexander melangkah mendekat, memeluk sang adik yang melotot siap mengamuk.

"Nggak mau!"

"Kakak minta maaf. Kakak menyesal—"

"Jangan ngomong Indonesia! Aku benci!"

"Tolong jangan pergi. Kakak hanya punya kamu, Ezra. Kakak sayang padamu."

"Aku mau Mama! Aku nggak mau sama Kakak!"

"Kakak juga kangen Mama..."

"Huaaa!!"

Tangis Ezra pecah dalam pelukan Alexander. Anak itu meninju punggung kakaknya dengan kedua kepalan tangan yang kecil itu, memukulnya beberapa kali sebelum mengeratkan pelukan, tersedu-sedu di dada Alexander.

Alexander mengecup ubun-ubun Ezra lembut, mengelus punggung yang masih gemetar itu dengan penuh sayang. Matanya memerah, tapi tidak menangis. Ia tak mengucapkan satu patah kata pun setelahnya, sementara Ezra masih terisak-isak dalam pelukannya.

Chacho menghela napas lega. Meski ia tak mengerti kalimat berbahasa Indonesia yang diucapkan Alexander untuk menenangkan adiknya, ia tahu perang dunia Aranda pagi ini sudah berakhir dengan baik. Pemuda Honduras asli yang masih betah topless itu melangkah mendekati sisi sofa, mengangkat ransel Ezra dan menyampirkannya di pundak, lantas berdeham keras, membuat kedua kakak-adik itu melepas pelukan mereka.

"Jadi, kapan berangkat? Mau aku yang antar?" tawarnya, menampakkan muka polos.

Detik berikutnya ia susah payah memohon ampun saat menerima pukulan dari Alexander yang marah-marah.

***

Chartreuse - On the Other SideTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang