kisah awal

4.4K 159 8
                                    

Ini hari ketiga aku duduk di tepi pantai ini lagi. Mengulang cerita awal hingga akhir, yang bagiku tetap menyenangkan, menggembirakan, membahagiakan meski akhirnya mampu menjatuhkanku sampai tempat  paling dalam, dilingkaran kesedihan.

Aku memang mudah galau tapi kali ini bukan hanya galau, tapi kesedihan yang tak berujung, mengempaskanku pada jurang kesakitan, dan mungkin membuatku takkan sanggup lagi berdiri.

Selesai sudah perjalananku bersama Dion, cinta yang aku pertahankan kandas sudah, tak bersisa apa pun yang ada hanya kesakitan.

***

Masih teringat jelas bagaimana kami memulai perjalanan bersama, sulit awalnya karena Dion tak pernah berani mengatakan menyukaiku, hanya kunjungan, hadiah dan senyum tipis yang Dion berikan.

Aku bukan gadis agresif tapi aku tak suka hal yang tak pasti, hingga saat pertemuan yang kelima, kuberanikan diri untuk bertanya, "Kamu suka aku kan? untuk apa semua hadiah, perhatian, dan senyumanmu? " ujarku dengan wajah sebal karena ia tak juga menyatakan perasaannya.

Awalnya aku lihat dia kaget, lalu mengangguk dengan posisi tetap menatap lantai, dan suaranya hanya bergumam, "Aku tak punya keberanian untuk mengatakannya."
Aku lega mendengar pengakuannya, bahagia pastinya.

Ku tanya lagi, "Eh kita jadian ya? " dan Dion hanya mengangguk dan tersenyum tipis.

Kami menjalani masa pacaran aneh karena dia malah tidak pernah ngapel, hanya lewat sms saja, huuufft capek pastinya karena aku menahan kangen. Dan jika bertemu pun wajahnya hanya datar saja, sempat terpikir, apakah dia merasakan seperti apa yang aku rasakan?

Males banget pacaran sama cowok yang usianya terpaut agak jauh, jadi pacarannya konfensional seperti ini. Usia Dion terpaut 6 tahun diatasku. Ia sudah bekerja di sebuah kantor BUMN dan aku masih kuliah waktu itu.

Suatu saat di siang hari entah keberanian apa yang membuatnya berani apel ke tempat kosku, " Jalan-jalan yok Mei, "ajaknya.

Waaaah bagaikan mendapat sekarung durian, bahagianya aku, aku mengangguk cepat dan berganti baju lalu pamit pada ibu kos. Lambaian ibu kos seolah mengingatkanku agar aku tahu waktu.

Kami ke mall waktu itu, ini kali pertama kami jalan-jalan, waktu kami menyusuri lorong pertokoan tiba-tiba tangannya memegang tanganku dengan erat, aku diam saja karena aku berusaha menenangkan gemuruh dadaku, ini kali pertama Dion memegang tanganku, meski kuakui Dion bukan pacar pertamaku, tapi getaran aneh baru aku rasakan dengan Dion.

Malah jadi bingung mau ngapain, "Tangan kamu basah Mei, ini pegang sapu tanganku, " kata Dion lirih, selalu begini kalo aku gugup, tangan basah. Karena tanganku basah, Dion jadi memeluk pundakku, waduh aku semakin gemetaran, "Kamu sakit Mei?" tanya Dion, aku hanya menggeleng.

"Kita pulang ya, sholat dulu, makan trus aku antar kamu balik ke tempat kos." Ini kali pertama aku mendengar Dion agak cerewet. Kami berhenti di tempat kos Dion, kok ke sini pikirku.

"Jangan takut Mei, kamu tidak akan aku apa-apakan, kita sholat dulu, aku pinjamkan mukena pada ibu kos, " ujar Dion seolah tahu jalan pikiranku yang tiba-tiba saja diam mematung.

Dion menarik tanganku ke kamar kosnya, ah nyaman, bersih dan luas, ada 1 kasur agak besar, lemari baju, rak sepatu, meja untuk meletakkan file kabinet dan lain-lain, yang pasti harum sekali. Kami sholat berjamaah. Lalu Dion mengajakku makan siang di warung soto tapi aku tolak, aku ingin segera sampai di tempat kos aku hanya merasa bahwa terlalu lama berada di sisi Dion, aku takut, akunya yang tidak kuat iman.

***

Hingga suatu saat, waktu aku pulang ke rumah yang berjarak sekitar tiga jam perjalanan dari tempatku berkuliah. Bapak menyatakan dengan tegas penolakannya pada Dion

"Bapak dan ibu tidak mau kau melanjutkan hubunganmu dengan Dion, " kata bapak dengan tegas, kutanya alasannya.

"Bapak tidak ingin kamu menderita." Ku kejar bapak, aku bingung, apa? mengapa> bermacam pertanyaan tidak ada jawaban,

Ibu malah menatapku tajam sambil berkata, " Ibunya pengganggu suami orang, Dion dan saudara-saudaranya adalah hasil hubungan dengan laki-laki tidak bertanggung jawab itu."

Aku kaget bukan main, aku tak tahu harus berkata apa. Yang ada dalam pikiranku, lalu apa hubungannya dengan Dion? Bukankah yang salah ya perilaku ibunya dan bukan perilaku Dion. Dan yang jelas itu kejadian berpuluh tahun lalu.

***
Aku jalani hubungan backsreet, melelahkan memang tapi aku mencintai Dion dan tidak ingin putus dengannya. Beberapa kali aku dijodohkan oleh ibuku, tapi aku berhasil bekerja sama dengan calonku itu dan kami bisa menolak dengan cara halus ah Tuhan masih menyayangi aku.

***

Meski Bapak sudah melaranglu sedemikian rupa, aku tak mengindahkan larangan itu.
Kami jadi semakin sering berjalan berdua, apalagi aku kuliah di kota lain sehingga pengawasan Bapak lebih sering lewat ponsel, seminggu sekali pasti kami jalan-jalan, sampai suatu saat aku numpang sholat lagi di tempat kos Dion, kebetulan perutku kurang sehat, jadi aku istirahat sebentar sambil tiduran di kasur Dion, pintu kamar tetap kami buka, karena kami tidak ingin hal-hal aneh terjadi. Tak sadar aku tertidur.

Aku terbangun karena tiba-tiba ada sapuan hangat di wajahku, aku buka mataku. Deg..wajah Dion hanya beberapa inci dari wajahku, tubuhku menegang, tiba-tiba cup..bibir Dion menyentuh bibirku sekilas, lalu Dion keluar kamar, "Aku tunggu di luar Mei, aku antar kau pulang," ujarnya dengan suara bergetar.

Tak kalah bingung, aku betulkan baju dan dandananku karena tertidur tadi.

Dan beberapa menit kemudian melajulah kami di jalan raya. Tanganku memeluk pinggang Dion, tak lama sampailah kami di tempat kos, waktu aku akan melangkah masuk, Dion menarik tanganku dan berkata lirih, "Maaf yang tadi Mei. " Aku hanya mengangguk lalu berlalu masuk.

Aku berguling-guling di kamar kosku, tepatnya di kasur, aku tutupi wajahku. Dentuman di dada belum juga reda, ciuman Dion memang sekilas, tapi efeknya sungguh mengejutkan, aku masih saja gemetaran, tangan dingin tapi pipiku menghangat ah Dion.

Tiba-tiba ponselku berbunyi. Aku melihat ada nama Dion di sana.

Halo Mei, aku masih di warung ini, makan sendiri, lah kamu diajak nggak mau

Nggak papa, aku sudah masak kok, tinggal makan aja

Ok, tidurlah, selamat malam

Malam

Eh Mei, Minggu depan kita jalan lagi ya

Iyah

Bai Mei

Bai Dion

Dan aku memeluk ponselku, menciuminya seolah mencium Dion. Dion yang kaku dan pemalu akhirnya sedikit demi sedikit mulai mencair juga. Ia sudah mulai bisa memandangku lebih mesra. Kadang mulai berani memegang tanganku lebih lama, bahkan mengusap rambutku perlahan. Banyak hal yang aku syukuri karena hubungan kami menjadi lebih indah. Hany entah mengapa, mimpiku semalam sangat mengangguku, aku melihat Dion menjauh dan hilang ditelan kabut. Tak kuceritakan mimpiku ini pada siapa pun, aku hanya berdoa semoga Tuhan memberi kami jalan terbaik.

****

Biar gak lupa, cerita ini dibuat pada bulan November 2018 dan akan direvisi 😍😘

Pecinta Senja (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang