"Jadi, ada hal penting apa sampe kamu kesini? Malem lagi," tanya Wonwoo santai meski dalam hatinya penuh selidik.
Mingyu hanya menunduk, terlihat berpikir tentang kata-kata yang akan ia lontarkan setelah ini.
Wonwoo masih menunggu, namun tatapan matanya tak lepas dari setiap gerakan yang Mingyu buat.
Angin di teras rumah Wonwoo makin bertiup, malam jadi semakin dingin terlebih setelah hujan. Dengusan napas berat Mingyu terdengar jelas. "Wonwoo, kuharap kamu, memahami apa yang akan kukatakan sekarang."
"Ya, katakanlah."
Katakanlah Gyu, aku hanya perlu tahu kejelasan sikapmu tanpa kebohongan lagi.
*****
Malam itu, tak ada tangisan yang Wonwoo tinggalkan.
Tidak meski Mingyu mengatakan bahwa ia harus berhenti menghubungi Wonwoo mulai dari detik ia keluar gerbang rumah bercat hijau gelap yang mulai mengelupas itu. Wonwoo tahu hari ini akan tiba. Hari dimana Mingyu mengutarakan semua yang seharusnya pria 25 tahun itu dengar setahun yang lalu.
Tepat dimana Mingyu harusnya mengaku ia tak pernah menyukai Wonwoo bahkan menanggapi apa yang Wonwoo rasakan.
Sejak semula.
*****
"Wonwoo, kupikir aku tak bisa meneruskan komitmen ini denganmu."
Wajah Wonwoo hanya datar, seperti biasa. Tak terlalu menggubris perkataan yang Mingyu ucapkan, karena toh pria itu sudah tahu apa kalimat selanjutnya.
"Kupikir setelah apa yang kulakukan selama ini, hubungan antara kita kedepannya belum ada gambaran jelas. Hanya abu-abu. Makanya aku ingin minta maaf."
Cih.
Genggaman jari di ujung baju Wonwoo yang tadinya mengepal sedemikian kuat, perlahan mengendur. Ia menahan emosi memang.
Pandangannya beralih ke arah si empunya kata, Mingyu, yang kini justru tertunduk dengan ekspresi tak tertebak seperti biasanya.
Sebelum bertanya, Wonwoo menghembuskan napas beratnya perlahan, ia hendak lanjut menanggapi namun urung, tepat saat Mingyu tiba-tiba kembali buka mulut.
"Aku juga masih memikirkan orang tuaku yang kini masih sakit. Kupikir mereka membutuhkanku-" ragu Mingyu melanjutkan.
Pada detik ini, perlahan rahang pria berambut ikal pendek itu mengeras. Wajahnya seolah meneriakkan emosi dalam hati yang ia pendam mengenai alasan yang baru saja dilontarkan Mingyu. Alasan bohong.
Wonwoo tahu bahwa itu adalah kebohongan karena orang tua Mingyu tak terlalu bergantung padanya. Masih ada dua saudara tertua Mingyu yang ikut menempati rumah orangtua si Kim.
Akhirnya Wonwoo menanggapi, dengan menahan wajah sedatar pintu rumah dan suara dibuat sejelas mungkin meski ia tahu lidahnya kelu dan tenggorokannya kering.
"Kalau boleh tahu, apa kau membatalkan komit ini karena seseorang?" Tatapan Wonwoo mungkin datar, namun sorotnya langsung menghujam. Tepat ke iris kelam dan jernih milik Mingyu.
Wonwoo menuntut kejelasan. Khas seorang Wonwoo yang to the point.
Tak diduga, Mingyu balik menatapnya namun cepat beralih, tak ingin lama-lama seraya mengatakan, "Tidak. Tak ada. Kupikir, menjalin hubungan denganmu masih ingin membuatku menjernihkan pikiran dulu."
Jelas, bersih di pendengaran Wonwoo.
Rasanya ingin melempar jarum dart ke ulu hati pria tinggi itu. Batin Wonwoo.
*****
Mereka berdua akhirnya terdiam. Wonwoo masih sibuk menahan amarah dan berusaha keras tak terlihat gurat kemarahan.
Meski ia gusar, tapi Mingyu seperti tak ingin melanjutkan omongan apa pun. Karena bagi Kim Mingyu, urusannya telah selesai. Dan Mingyu hanya berpikir bagaimana secepatnya keluar dari rumah pria ini. Ia ingin menghubungi Minghao, dan segera mengikat hubungan mereka.
Saat Wonwoo baru saja membuka mulut, Mingyu menimpali, "Won, kuharap kamu tidak ada rasa sakit hati. Aku ngebelain sampe kesini juga sebenarnya nggak tega, karena takut kamu ngamuk atau gimana. Aku tahu banget emosi kamu nggak stabil--"
"Tak apa, Gyu. Mengenai hatiku, itu urusanku. Kau tak perlu memikirkannya. Ini sudah malam, pulanglah."
Wonwoo muak. Sangat muak. Tapi ia mengatakan hal itu dengan seulas senyuman yang ia benar-benar paksakan.
"Wonwoo, sekali lagi, kumohon padamu. Jangan marah padaku."
"Gyu, tolong dengarkan aku kali ini. Mengenai emosi, kurasa itu urusanku. Kau tak perlu ambil pusing. Jika setelah ini aku 'menyampah' di sosial media milikku, anggap itu wajar, anggap saja angin lalu. Tak perlu kau buat risau. Jangan peduli padaku. Dan terima kasih atas kesediaanmu bicara padaku sekarang. Silakan kau pulang," Wonwoo tak ingin dibantah saat itu.
Mingyu lantas hanya menunduk tak berkata apa pun lagi.
Ia pun pamit, sembari menyalakan mesin motornya.
Menyisakan Wonwoo dan heningnya angin malam setelah hujan turun seharian.
*****
Tiga bulan kemudian.
"Won, kamu dapet undangan dari Mingyu nggak?"
"Undangan apa? Sunatan?"
"Yee, lawak! Undangan nikah, Mingyu sama Minghao kan baru aja nikah dan resepsinya digelar akhir minggu ini!" Seungkwan menggebu-gebu bercerita.
Oya? Wah... ini yang ia katakan, 'tidak ada siapa pun diantara kita'?
"Won, kok bengong sih. Dateng, nggak?" Seungkwan menuntut.
Jeonghan yang sejak tadi diam memperhatikan, segera menyela, "Heh! Tanggal segitu ada meeting sama client, nanti desainnya nggak jadi-jadi loh revisi terus! Wonwoo udah setuju soalnya tanggal segitu."
Wonwoo seketika menatap mata Jeonghan. Wonwoo tahu, hanya Jeonghan yang paham bagaimana rasa yang sedang hatinya deskripsikan sekarang.
Jeonghan tahu apa yang ada diantara hubungan diam-diam Mingyu dan Wonwoo. Tak ada orang lain lagi.
Wonwoo lantas berkata pada Seungkwan, "I don't need you to remind, Babe. Gue nitip salam aja. Terlanjur janji sama client." Ia pun tersenyum.
[END]
FF BARUU, dan one shoot aja.
Maapkeun yang lain terbengkale. Haduh.
YOU ARE READING
I Don't Need You To Remind
Short StoryWonwoo ingin kejelasan. Mingyu tak ingin komitmen. Mereka tahu jika memaksa satu sama lain hanya akan menyakiti. ***** //Oneshot //Meanie