First: Disaster?

6 0 0
                                    

Kalau aku tahu akhirnya seperti ini, harusnya aku biarkan kau berhutang pada restoran itu

.

.

Dingin.

Daun berwarna jingga satu per satu mendarat mulus di atas jalanan. Berserakan, bahkan terkadang tersapu oleh hembusan angin yang membawanya harus tergilas oleh roda-roda hitam di atas jalanan. Tapi, tak ada yang memperdulikan itu. Toh, haruskah kau peduli pada setiap daun yang nyaris mengalami hal serupa seperti itu, terutama di bulan oktober ini? Kurasa tidak.

Musim gugur memang sudah berjalan setengahnya, tapi indahnya semburat jingga di kota Seoul tidak bisa diabaikan. Beberapa gadis yang lewat memakai riasan khas musim gugur―kelopak mata kecoklatan dengan bibir warna coral pucat―pun beberapa toko kosmetik menjajakan berbagai produk makeup dengan tema musim gugur beserta diskon yang lumayan menggiurkan. Musim ini terlalu indah untuk diabaikan.

Sebenarnya musim yang lain juga, sih.

Hwang Yujin berdiam diri menatap semua hiruk pikuk kota Seoul dan segala hal tadi dari balik kaca tipis di sampingnya. Jarinya yang lentik dan panjang meraih cangkir espresso-nya, menyesap perlahan demi perlahan, menikmati sensasi hangat yang dirasakan lidahnya, seolah-olah baru pertama kali ia meminumnya―nyatanya hampir setiap saat secangkir itulah yang selalu ia pesan takkala melemburkan diri demi pekerjaannya yang melelahkan.

Yujin meletakkan cangkirnya setelah beberapa kali sesapan. Matanya masih memancang keluar, namun tiba-tiba kedua tangannya terkepal erat, menekan kedua pipinya sambil menahan teriakan. Sungguh, ia ingin sekali berteriak saat melihat pekerjaannya sudah tersimpan dengan judul yang benar―tanpa embel-embel on going (kebiasaan yang ia lakukan ketika menyimpan judul dokumen yang belum ia selesaikan). Ia ingin membagikan euphoria saat dirinya bisa beristirahat dengan tenang malam ini, mungkin ia bisa mengenakan masker wajah setelah hampir seminggu mengabaikan kondisi kulitnya. Yujin kembali tersenyum, menutup laptopnya yang setia membantunya, lalu menghabiskan isi cangkirnya dalam sekali teguk. Ia tidak sabar untuk pulang!

Setelah memastikan semuanya sudah beres dan tak ada yang tertinggal lagi seperti biasa, Yujin berderap keluar, hendak membayar pesanannya yang tak seberapa. Senyum manis tersungging di bibirnya yang kali ini terpoles warna oranye muda sembari menunggu antrian. Senandung kecil keluar dari bibirnya, seolah-olah mengekspresikan kebahagiannya.

"Tequilla sunrise-nya satu gelas, totalnya 18.000 won,"

Mendengar suara wanita yang berdiri di belakang mesin kasir, Yujin menoleh. Ah, tak terasa antriannya sebentar lagi. Sekarang ia tengah berdiri di depan seorang pria tinggi dengan mantel hijau army yang sedang mengeluarkan dompetnya. Yujin menggeser tubuhnya sendiri, sedikit penasaran terhadap rupa sang pria yang memesan tequilla sunrise itu. Maksudnya, hei, siapa yang memilih untuk memabukkan diri di tengah senja musim gugur yang indah ini?

"Berapa tadi?" ulang sang pria.

Wanita itu berbaik hati mengulang perkataannya. "18.000 won, Tuan,"

Si lelaki mengecek isi dompetnya kembali, kemudian senyum kotak tak bersalah tersungging untuk si wanita yang tengah menunggu. "Aku hanya punya 8.000 won, bagaimana kalau―"

"Akan kubayar sisanya,"

Si wanita yang tengah bertugas dan si lelaki berpaling menghadap Yujin yang entah kenapa menyodorkan selembar uang 10.000 won ke wanita itu. Si wanita berkedip sebentar, kemudian dengan sopan mengambil uang yang disodorkan Yujin. Namun, si lelaki masih berdiam memandang Yujin, bahkan tanpa berkedip. Hal ini membuat Yujin menyunggingkan senyum kikuknya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 21, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Since ThatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang