Story #8: Perfect

144 16 10
                                    

Moon Taeil as Dimas

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Moon Taeil as Dimas



"Kamu nggak harus sempurna. Kita nggak harus sempurna. Kita adalah topang untuk satu sama lain, untuk terus mengejar kebaikan. Bukan tugas kita menjadi sempurna untuk satu sama lain.

Lagian, parameter sempurna itu apa, sih? Bukannya itu sesuatu yang personal untuk masing-masing orang, bakalan berbeda? Parametermu dan aku aja bisa jadi berbeda.

Kamu nggak perlu sempurna. Kamu, cuma perlu jadi kamu."




Kalau ada yang menanyakan lagi ke saya kenapa saya bisa jatuh cinta sama perempuan ini, kalimat diatas adalah biang keroknya. Kalimat lawas dan cheesy itu dulu ia lontarkan ketika sesi pertemuan kami di bawah langit berbintang kawasan Puncak mencapai fase serius. Mungkin itulah pertama kalinya dalam hidup saya yang seklusif dan individual saya merasa membutuhkan seseorang—yang bukan rekan kerja atau keluarga. Pasangan.

Lebih tepatnya, saya butuh dia.

Entah apakah lamaran saya yang terkesan impulsif kala itu, atau kenyataan bahwa hal sepenting itu saya sampaikan di tengah-tengah kepungan asap dari gerobak kacang dan jagung rebus yang membuatnya tertawa. Untungnya ia menganggukkan kepala tanda setuju, sembari masih berusaha mengendalikan tawanya.



"Aku suka gayamu."

"Makasih lho, Mas."

"Re, nikah yuk?"

"Ngelamarnya di depan abang kacang rebus gini?"

"Udah, Neng, terima aja. Abang ikut seneng kok."

"Tuh, nggak papa Re."

"Iya, Mas. Rere mau."



Iya, sesederhana itu.



Singkat cerita, semuanya berlangsung begitu cepat. Saya segera menemui orangtua Rere di rumahnya, menyampaikan itikad baik saya untuk menikahi perempuan yang setengah mati saya cintai ini. Ibunya menangis haru, sedangkan Bapak hanya memasang wajah dingin namun diam-diam bangga. Mungkin lega, anak perempuan bungsunya akhirnya menikah.

Tidak makan waktu lama, hanya empat bulan setelah kunjungan saya ke rumah Rere, kami menikah.

Rere-ku sayang tidak harus lagi bekerja siang-malam di hari kerja dan menjadi pegawai kafe di akhir pekannya. Meskipun pada akhirnya, Rere tetap bersikeras mempertahankan pekerjaannya di kantor dan hanya melepaskan pekerjaannya di kafe pada akhir pekan.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 21, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Fragmen [NCT 2018]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang