Sepuluh: Pengakuan (1)✔

556 45 9
                                    

🔪Adel🔪

Aku menatap kosong tembok abu-abu di belakang lelaki berkaus hitam polos. Aku tak berniat menatap wajah polisi di depanku ini. Malas saja karena aku tahu, aku akan diwawancarai perihal pembunuhan yang terjadi. Lagian, aku tertangkap pun tak akan menutup kemungkinan, mama berubah jadi lebih perhatian dengan diriku.

Kalian pasti bertanya di mana aku berada. Jujur, aku tak tahu aku di mana. Karena tadi kedua mataku ditutupi oleh kain hitam dengan kedua tangan yang diborgol.

Lelaki dengan umur sekitar 30 tahun ini terus menatap gerak gerikku. Aku yakin, jika dia sedang membaca pikiranku.

"Bagaimanapun juga, anda tak mengerti alasanku melakukan semua ini" ucapku menatapnya sesaat lalu beralih pada tembok.

Lelaki itu mengangkat kedua kakinya di atas meja. "Coba ceritakan dengan jelas" ucapnya membuat darahku mendidih dengan gertakannya.

Cih, polisi muda yang kurasa kepala di kantor ini belagu. Sepertinya dia baru saja diangkat sebagai kepala. Rutukku dalam hati.

Aku meliriknya sesaat, "sama saja aku tetap akan dipenjara meskipun aku menceritakan semuanya. Bapak tidak akan mengerti" lanjutku dengan suara ketus.

Brak!!

Lelaki itu menggebrak meja setelah berdiri. Wajahnya melotot yang kurasa akan menggelinding beberapa saat lagi. "Jelaskan sekarang!!" bentaknya.

"PO-LI-SI. Katanya mengayomi masyarakat, namun apa sekarang? Memojokkan gadis sepertiku. Mencekik pelan-pelan, hama bagi masyarakat, dan apa lagi sebutan yang pantas buat kalian? Hah..!! Preman jalanan?" Ucapku ketus.

Polisi di depanku terdiam, matanya masih setia menatap tajam wajahku.

Ceklek!

Suara pintu dibelakangku terbuka, "maaf pak, ada seseorang yang mencari bapak" ucap seorang polisi di belakangku yang kurasa bawahan lelaki di depanku.

Yang benar saja, aku hampir menang, sudah ada yang mengganggu saja.

Lelaki jangkung di hadapanku berjalan mendekati polisi yang menggebrak meja. Sebut saja atasannya adalah Tora dan bawahannya tersebut Raka.

Aku masih terdiam mematung di bawah lampu bohlam kuning yang menggantung di atas. Tanganku setia di atas meja persegi panjang yang sesekali mengetuk-ngetuknya. Ruang pengap dengan cahaya remang-remang ini mengingatkanku dengan ruang bawah tanah rumah ayah Remi. Ruang di mana banyak menyimpan ruang misteri. Yaa.. ruang yang sudah kuketahui semuanya kecuali di balik rak alkohol.

Kutenggelamkan wajahku di atas meja. Menutup kedua kelopak mataku, menyingkirkan semua rasa dendam kesumat yang kini mencoba menerobos keluar dari brankasnya. Dan memperdaya diriku lagi.

Hmm.. jika aku diberi pilihan, lebih baik aku tak dilahirkan di dunia ini dibanding harus merasakan apa yang namanya tersingkirkan. Sungguh, aku tak mau melakukan ini. Aku terlalu muda untuk merasakannya.

Ceklek!

Hendle pintu kembali terbuka, aku tak ingin melihat siapa yang datang di belakangku. Yang kudengar hanya dua pasang kaki yang melangkah mendekat.

TEROR JINGGATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang