Sebelas: Pengakuan (2)✔

421 43 2
                                    

🔪Adel🔪

Semenjak kejadian itu, aku mengambil alih kehidupan Amel. Aku mengaku pada mbok Jem jika aku kehilangan Adel kembali. Dan kehidupanku dipenuhi oleh kebisuan-kebisuan yang membawaku pada sepi.

Iya, aku hampir tak memiliki teman karena diamku. Namun, karena aku tergolong siswi cerdas di sekolah, ada beberapa temen sekelas yang suka mengajakku untuk menjadi teman sekelompoknya. Dan aku menolak dan lebih suka bekerja sendiri. Toh, lebih baik kerja sendiri dari pada aku mengerjakan untuk mereka.

Lambat laun aku merencanakan demi rencana untuk menewaskan siswi baru di kelas satu. Anindhita Clara, nama yang terlalu cantik untuk gadis ceroboh sepertinya. Aku mendapatkan data namanya ketika aku menemukan informasi dari anak buah ayah Remi, jika anak dari suami mama itu tinggal di samping orang yang akan dibunuh oleh mereka.

Dan seperti dijelaskan dicerita sebelumnya, aku meneror dengan berbagai kejadian ganjil yang tak masuk akal. Dan sudah kujelaskan aku tak sendiri. Ada banyak tangan kananku di sini maupun di sekolah. Tapi jujur, aku tak menghantuinya dengan pakaian merah menyala di balkon kamarnya.

Sempat kami beberapa kali dihantui sosok wanita berpakaian merah, yang kurasa adalah arwah wanita yang sempat ayah bunuh. Iya, waktu itu ayah Remi ikut serta dalam pembunuhan itu. Ayah kembali ke jalan itu karena Amel butuh dana untuk membayar operasi peluru yang bersarang di dadanya. Dan aku mulai benci Amel ketika perhatian ayah lebih besar padanya.

Jujur, aku sempat menyekap Amel di rumah kumuh pinggiran sungai. Aku menyembunyikannya setelah ia sembuh. Aku mengaku pada ayah, jika Adel kabur setelah tau jika uang yang ayah gunakan untuk pengobatannya adalah uang haram. Dan bodohnya ayah menyerahkan diri pada kepolisian setelah mengalami stress yang cukup lama karena memikirkan gadis sialan itu.

Aku nggak ngerti, seorang ayah Remi, pembunuh bayaran ulung menyerahkan diri tanpa sebab. Iya, aku tahu jika ayah pernah mengaku jika ia dihantui oleh wanita yang telah dibunuhnya. Namun, kurasa bukan itu. Ayah Remi tak takut dengan arwah-arwah karena beliau memiliki ilmu-ilmu yang dipelajarinya bersama dukun kenalannya. Aku juga sempat mengikuti beberapa ritual demi bisa menghasut si bule Sam agar bisa membenci sahabatnya itu.

Sungguh aku tak percaya jika aku benar-benar bisa memperdaya Sam yang konon memiliki insting yang lebih sensitif dari manusia lain. Aku bisa melakukannya setelah melemparkannya dengan debu hasil pembakaran kayu pemberian mbah Tapa, dukun kenalan ayah Remi tepat di mata Sam.

Waktu itu matahari tenggelam di ufuk barat. Dan malam mulai menyergap dengan dinginnya. Sam pulang dari pantai bersama Clara dan yang lain dengan mobil. Aku tak menyadari jika sejak tadi Amel membuntutiku dengan beberapa bercak darah di sekitar wajah dan badannya. Dia berdiri di depan mobil mereka, berdiri dan akhirnya ambruk tak sadarkan diri lalu tak sengaja dilindas oleh ban depan mereka. Oke, ini jauh dikatakan dari rencanaku. Dan aku harus mulai menyusun rencanaku kembali.

Kuturunkan cambuk yang dihiasi oleh darah yang sudah mengering. Berjalan sambil menyeret kaki kiriku, aku tahu, gayaku sedikit menyeramkan. Dan aku harap, mereka akan takut melihatku dan pergi meninggalkan amel seorang diri.

Tapi aku sudah terlambat, mayat Amel digendong pergi masuk mobil. Sedangkan yang lain membuntuti karena takut, kecuali Sam menatapku tajam.

Aku tersenyum miring. Menatap kilatan mata kemarahannya.

"Aku beri dua pilihan, menjadi pengikutku atau mati di tanganku?" Tanyaku dengan suara serak.

Dia tersenyum miring, "gue ngga sebodoh itu, cih."

Sam mendekatiku, menatap wajahku yang sebagiannya tertutup oleh rambut panjang. Tangannya mencoba membuka rambutku yang terurai. Dan ini kesempatanku, kutaburkan abu pemberian mbah Tapa kemarin. Sehingga ia teriak kesakitan, dan sempat tak sadarkan diri.

Selang beberapa detik, Sam terbangun. Cara memandangku sudah berbeda, aku sadar jika Sam sudah menjadi pengikutku. Dan tanpa kusadari retinaku menangkap sosok di balik pohon. Dua manusia berlawan jenis yang tengah menonton aksiku di sana. Mereka baru saja datang.

Lebih baik kulancarkan misiku selanjutnya untuk membuat sebuah drama di sini. Memberi bumbu kebohongan di dalamnya, meski sedikit menyakiti Sam.

***

Setelah semua kuceritakan pada kepala polisi, aku mereka ulang semua kejadian dari awal. Sungguh aku malas membahas ini, karena media sudah berkeliaran di mana-mana. Fotoku bahkan siaran tentangku tercetak dan terputar di segala media. Jika kalian bertanya aku malu? Aku mengatakan dengan lantang, aku tak malu, sedikit pun. Karena aku merasa apa yang kulakukan sudah benar.

Setelah semua orang tertawa atas apa yang kualami, kini aku masuk ke dalam sel tahanan. Dan aku paling benci hal ini, ketika mereka tak puas juga dengan menderitanya diriku, aku melihat berita di televisi ketika di lapas, jika ada orang yang mengatakan jika aku tak waras dan gila. Dan yang mengatakan itu adalah ibu kandungku sendiri yang bahkan tak mau menjenguk anaknya. Aku tau dia sudah malu karena ulahku. Namun, apa salahnya sih, seorang ibu menjenguk. Sekedar menanyakan kabar atau memelukku. Ooh, aku lupa jika namaku sudah tercoret dalam kartu keluarga. Aku sudah tak berhak mendapatkan itu semua.

Haha.. sungguh hidup ini lucu. Dan aku benci mereka. Meski aku tau jika bunuh diri itu tak bagus karena mereka akan terus bahagia.

"Aaahhh...!! Aku benciii!!" Teriakku memukuli tembok.

Tak ada yang perduli lagi denganmu, Adel.

Suara ituu.. kembali.

"Ada ayah Remi" desisku.

Dia akan pergi..

"Tidaakk!!" ,teriakku menutup kedua telingaku.

"Kenapa kau?" ,tanya seorang polisi diluar tahanan.

Aku kembali terdiam tanpa menghiraukan. Tetapi suara itu tiada henti

Semua membencimu, Adel..

Tak ada yang suka dengamu.

Mama, papa, dan bahkan suadaramu telah membencimu.

"Diiaamm!!"

Ikut denganku.. rasa sakitmu akan hilang

Aku menggeleng dengan cepat.

Namun suara itu serasa memanggil separuh arwahku pergi bersamanya. Meninggalkan sisi dunia nyata dan tinggal mendekam di sebuah tempat tak berpenghuni. Aku tak tau pasti. Terpenting aku aman disini.

Tak akan ada orang yang senang menghujat. Aku tak merasa menderita lagi. Dan bahkan, orang yang kubenci tak nampak didepanku.

***

Trenggalek, 03 January 2019

R

evisi: Yogyakarta, 06 April 2019

TEROR JINGGATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang