Sedari tadi si kecil tidur belum juga bangun, mungkin karena kecapekan semalam naik bus dari purwokerto hingga ke sini, Jakarta. Ku lihat Mas Aryo juga masih terlelap di samping Dinda anak kami.
Sedangkan aku sedang membungkus makanan ringan khas Purwokerto yaitu lanting, salah satu cemilan di kampung Mas Aryo.
Setelah siap membungkus lanting, segera aku bagikan tetangga kontrakan sebelah dan tak lupa pemilik kontrakan. Membagi makanan oleh-oleh adalah hal yang lumrah bagi kami, parnah pada saat itu, aku habis dari kampung dan tidak membagikan oleh-oleh itu cukup membuatku malu. Karena pada saat itu aku di katain pelit sama emak-emak yang suka bergosip, malu pasti!
"Terima kasih loh oleh-olehnya," ucap Bu Mimi tetangga sebelahku.
"Sama-sama, ya udah kalau gitu aku permisi dulu ya," ujarku berpamitan.
"Tunggu bentar Mbak Rani, kemarin itu ada orang ke sini nanyain Aryo suami kamu," beri tahunya.
"Siapa Bu? Kira-kira ada urusan apa ya?" tanyaku.
"Urusan apa lagi kalau bukan soal ranjang."
Deg, segitunya orang mencari suamiku sampai mendatangi kontrakan. Padahal kan kami lagi pulang kampung kemarin.
"Ya udah, makasih ya infonya."
"Iya sama-sama, Mbak Rani apa gak kasihan kalau suami kerjanya kaya gitu. Itu juga kan bisa membuat Mbak Rani gak bisa manja-manjaan, karena keburu capek sama pelanggan ketika Aryo sudah pulang," ucap Bu Mimi. Benar juga apa yang di katakan Bu Mimi, nanti akan ku bicarakan dengan Mas Aryo ketika sudah bangun. Setelah dari tetangga sebelah, aku lanjut bagi oleh-oleh ke tetangga lainnya.
Kata-kata Bu Mimi tadi memutar terus di otaku. Hingga aku jadi panas sendiri, memang selama ini kami jarang sekali ngomongin masalah pekerjaan. Karena menurut Mas Aryo, aku gak boleh berpikiran negatif.
"Dari tadi baksonya cuma di lihatin, gak enak ya?" ucap Mas Aryo. Kami sedang makan bakso cuangki yang berusan lewat.
"Dinda udah tidur, aku mau ngomong sesuatu sama Mas."
"Ngomong aja, mau ngomong soal apa?" tanyanya. Dia sudah habis makan baksonya, sedangkan aku masih separuh mangkuk. Aku masih kepikiran nasibku kedepannya.
"Soal ranjang, aku harap Mas bisa cari pekerjaan yang halal lainnya."
"Kenapa? Kamu malu sama pekerjaan Mas sekarang," jawabnya keras kepala.
"Kenapa sih gak ambil saja uang buat modal dari Bapak, kan Mas gak usah cape-cape kerja begituan," sarkasku mulai jengah, ia selalu keras kepala. Gak mau terima uang pemberian Bapak, alasannya karena Bapak sudah merawatnya sendirian jadi Mas Aryo gak mau lagi nyusahin orang tua tunggalnya.
Lagian apa salahnya toh Bapak cukup mampu, makanya aku kemarin sampai di paksa mertua nerima duit, soalnya kalau Mas Aryo tahu pasti alasan seperti tadi akan di ucapkan untuku.
"Emang masih kurang uang hasil kerja Mas?" tanyanya.
"Gak sih cukup, malah lebih bisa buat pulang kampung kemarin," jawabku lemas kalau di tanya begitu.
"Terus masalahnya apa?"
"Masalahnya Mas kecapekan duluan setiap aku minta." jawabku sambil menunduk.
"Ya ampun cuma gitu mah gampang. Lagian Mas kerja ke sana ke mari itu sudah biasa, cari pelanggan agar orang pada mau beli ranjang yang aku promosiin, itu mah gak terlalu cape. Lagian kamu mau minta apa?"
"Minta, ... minta ke pasar malem." jawabku sambil tersenyum malu.