Chapter 14

9.9K 636 18
                                    

Radha berusaha menghapus air matanya yang tak mau berhenti mengalir. Pikirannya melayang pada Wati dan Gita. Bagaimana nasib dua anak itu?

Hanum menatap iba, Radha tak bisa tenang walau pun sudah dia tenangkan. Bahkan Eka, Tyas juga ikutan. Diajak bicara namun diam saja.

Tak berapa lama Raihan masuk ke kelas, diikuti Wati dan Gita di belakangnya. Dua perempuan itu nampak sembab matanya.

Wati dan Gita berjalan mendekati Radha, Wati mengembangkan senyumnya walau hidungnya terlihat memerah. “Memang cari masalah tu cabe-“

“Gua gak butuh bantuan kalian berdua!” suasana langsung membeku. Radha tampak sangat tidak bersahabat. Matanya tajam menatap Wati dan Gita.

“Tapikan, Mi-“

“GUA GAK BUTUH!” teriak Radha memotong ucapan Gita. Dia menangis lagi.

“Kalian gak bakal dapat apa-apa setelah bantu gua. Yang ada kalian bermasalah sama Bu Olin,” Wati menatap kecewa teman dekatnya tersebut. Bibirnya menyunggingkan senyum miris.

“Padahal niat kita baik,” kata Wati pelan.

“Gua gak butuh, Wat, gua gak butuh!” sela Radha. “Berhenti bersikap terlalu baik sama gua!” sambungnya.

Wati mendengus sinis, air matanya ikut luruh karena merasa kecewa. Dia bangkit dan berjalan menuju mejanya. Begitu pun Gita dan yang lainnya. Hanya Hanum sebagai teman sebangku Radha yang tersisa.

Bahu gadis itu naik turun. Emosinya belum stabil. Hanum tidak dapat berbuat banyak. Satu sisi dia merasa aneh dengan perubahan Radha. Satu sisi dia merasa kecewa dan iba disaat bersamaan. Intinya pertemanan mereka sedang tidak baik-baik saja.

***

Setelah jam pelajaran dimulai kembali, Radha izin ke UKS. Dia bilang badannya terasa tak enak. Sebelum mencapai UKS, perempuan itu berbelok ke toilet. Dia menangis lagi.

Sebenarnya, dia tak ingin bersikap seperti ini pada Wati dan Gita. Tetapi, mereka harus tahu bahwa tak semua masalah Radha harus diikut campuri.

Dia merasa akhir-akhir ini masalah datang silih berganti. Jujur, Radha ingin seperti dulu-dulu, bebas berteman tanpa takut akan adanya masalah. Bebas berbuat semaunya tanpa takut akan di drop out.

Dia merasa mulai besok harus membatasi pertemanannya. Bukan apa, Radha merasa orang-orang yang berniat baik padanya akan tertimpa masalah juga. Lebih baik menjauhi, cukup Wati dan Gita yang menjadi korban. Mungkin terkesan berlebihan, tapi menurutnya ini jalan keluar yang baik.

***

Radha berjalan menuju gerbang dengan gurat lelah di wajahnya. Hari ini begitu berat dari hari kemarin. Selama ini hidupnya tak pernah sememusingkan ini.

“Radha?” langkahnya terhenti ketika seseorang memanggilnya. Perempuan itu berbalik untuk melihat siapa pelakunya.

Tak cukup jauh, Raihan berjalan santai dengan senyum ciri khasnya. Laki-laki itu terlihat baik-baik saja seperti tidak ada masalah, padahal Radha yakin dia dimarahi habis-habisan oleh Bu Olin karena tak becus mengurus kelas.

“Kenapa?” tanya Radha saat Raihan sudah berdiri didekatnya.

“Bentar,” laki-laki itu merogoh saku tasnya. Radha ikut mengintip ke dalam tas tersebut, dia penasaran dan bingung.

“Nah,” satu batang cokelat seperti tadi pagi dia sodorkan lagi ke Radha. Radha mengernyit heran. Hari ini cowok itu begitu berbeda, dari tiba-tiba memberi cokelat, memperlihatkan sisi amarahnya dan kembali memberinya cokelat lagi.

“Buat apa sih? Yang tadi aja belum dimakan,” kata Radha, tak urung mengambil juga cokelat itu.

Raihan tersenyum hingga matanya menyipit. “Gak ada apa-apa sih, kejutan aja. Tadi pagi itu sebenarnya gua beli dua. Sengaja mau ngasih satu dulu buat pagi-pagi, satunya lagi pas pulang sekolah,” jelas laki-laki jangkung tersebut.

Radha terkekeh, menyimpan cokelat itu di tas bagian depannya, bergabung dengan cokelat tadi pagi. “Lo itu hari ini aneh banget tau. Tapi gak apa-apa deh, makasih banyak ya?”

Raihan mengangguk. Dia senang bisa melihat Radha tersenyum lagi, meski tak sesumbringah biasanya. “Tapi ini gak ada udang dibalik rempeyekkan?” tuduh Radha.

Raihan tertawa. “Enggak kok,” jawabnya lembut.

Radha mengangguk-angguk paham. “Ya udahlah, gua duluan ya?”

“Eh, Dha, tunggu!”

“Kenapa lagi?” tanya Radha.

Raihan nampak canggung, bahkan sampai menggaruk kepalanya. Radha mengernyit, dia benar-benar bingung saat itu. “Nanti..pokoknya harus ngasih undangan ke rumah gua ya?”

Radha menganga. Hanya itu yang ingin laki-laki itu bicarakan? Radha geleng kepala tak habis pikir. “Perasaan udah tiga kali lo ngingatin masalah undangan. Iya, pokoknya ntar gua anterin ke rumah lo langsung,”

Raihan tersenyum tipis. “Maaf kalau selama ini ada salah. Itu gua khilaf,” kata Raihan lagi semakin membuat Radha bingung.

Radha mengusap-ngusap keningnya, rasanya dia frustasi. “Iya dah iya, serah lo. Gua balik dulu, lo hati-hati pulangnya,”

Seperti itulah sore itu berakhir. Tanpa tahu masalah apa lagi yang akan menimpa kehidupan Radha.

***

Mendadak Khitbah Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang