"Jika pernah ada kecantikan yang benar-benar kulihat, yang kuinginkan dan kudapatkan, itulah mimpi tentangmu."
—John Donne
๑۩๑๑۩๑๑۩๑
Nero lebih dulu terbangun dari tidurnya, meninggalkan Hinata yang terbungkus selimut tebal. Ia lalu pergi ke kamar mandi setelah sebuah pesan masuk ke dalam ponsel-nya yang dia letakkan di bawah bantal—tentu awalnya dia tidak mengira, bahwa ponsel itu terselip di sana. Membuatnya segera terbangun karena ringtone ponsel-nya yang terbilang nyaring.
Ibu Yuen mengirim beberapa pesan. Sebelum pergi ke suatu tempat, wanita itu ingin bertemu anak angkatnya dan menikmati sarapan bersama. Tidak lama dari kepergian Nero, Hinata terbangun merasakan gerakan konstan, hanya saja, dia sulit bergerak karena selimut membungkus tubuh telanjangnya, dan membuatnya seperti gulungan sushi.
"Aku ingin pergi ke suatu tempat untuk bertemu Ibu Yuen," Nero keluar dari kamar mandi. Ia menggosok rambutnya yang pirang cukup kasar agar cepat kering, karena pemuda itu tidak suka menggunakan pengering rambut. "Tidak apa-apa ditinggal sendiri?"
"Tentu. Bisakah kau membawakan sesuatu setelah pulang dari sana?"
"Kalau aku bilang sampai sore dan malam?"
Hinata diam sebentar, kemudian berusaha keluar dari selimut. "Oke, aku akan kembali ke apartemen."
"Tapi kau bilang akan pulang ke rumah. Ada makan malam besar di rumahmu."
"Oh, aku lupa yang satu itu," Nero mendengkus, tetapi dia mendekati Hinata, membungkuk, memberikan ciuman sebentar pada pundak gadis itu. "Mungkin aku akan pulang hari ini. Tapi, apakah Ibumu sudah tahu kau akan pergi menemui Ibu Yuen?"
"Aku akan mengirim pesan padanya," Hinata mendorong Nero menjauh, dan ia bisa segera pergi ke kamar mandi. "Jadi, aku pergi dulu, jangan lupa kunci apartemenku."
"Oke!" Hinata berteriak ketika dia sudah menyalakan pancuran tepat di atas kepalanya. "Hati-hati di jalan."
๑۩๑๑۩๑๑۩๑
Nero sampai di Ritz-Carlton tepat pukul delapan pagi. Ia hanya berjalan kaki, walau agak jauh dari apartemen yang dia tinggali.
Di kamar di mana Ibu Yuen menginap, Nero melihat wanita itu sedang berkemas. Tidak terburu-buru, tapi seakan wanita itu dikejar waktu. Semuanya serba terperinci dan mengharapkan tidak meninggalkan sesuatu di sini.
"Apa kembali ke San Marino? Ibu bahkan tidak ikut makan satu meja sekali lagi dengan Ibu dan Ayahku. Mereka bilang ingin membicarakan sesuatu, atau membahas sesuatu agar kita semua lebih dekat seperti keluarga," wanita itu buru-buru menggulung rambutnya yang mulai terlihat beruban, tidak banyak, tapi memperlihatkan jika wanita itu lebih tua dari orangtua kandungnya. "Ibu, kenapa tergesa-gesa?"
"Mungkin, aku akan menetap di Afrika."
"Serius?" Nero terkejut, dia hendak duduk di sofa kamar tersebut, tetapi kembali berdiri, mendekati Ibu angkatnya. "Ke mana? Di mana letaknya! Maksudnya, lokasi yang kini akan menjadi tempat tinggal."
"Afrika Utara, Afrika Tengah, mungkin Kongo—"
"Ibu!" pemuda itu menjerit, karena dia memang terkejut akan jawaban itu. "Mengapa harus di sana? Bukankah baru-baru ini Virus Ebola menyebar di sana?"
"Kau tahu 'kan, jika Ibu menyukai sesuatu yang berhubungan dengan kemanusiaan,"
"Iya, Ibu bisa pergi ke mana pun untuk menolong orang lain, tapi tidak dengan pergi ke sana. Itu gila, bagaimana bisa Ibu melakukannya. Hampir bantuan kemanusiaan di sana terjangkit virus itu, mereka tidak akan selamat. Lalu... Ibu... Oh, Tuhan!" Nero meremas rambut pirangnya yang baru disisir tadi. Sekarang teracak-acak. Pagi-pagi, saat dia belum menikmati apa pun, bahkan sekadar segelas susu putih yang biasa dia habiskan. Kabar itu seperti sambaran petir yang menghanguskan tubuhnya. "Katakan jika itu hanya bercanda, Bu,"
YOU ARE READING
E N O R M O U S ✔
RandomKeluarga kaya raya kehilangan putra mereka dalam perjalanan keliling Eropa. Sementara ada dua pria Jepang yang mengadopsi anak laki-laki dan menjadikannya sebagai pembunuh bayaran andal. Tepat dua puluh tahun kemudian, anak laki-laki itu mulai menge...