Author Note : Vote sebelum membaca.
Aku gila!
Mungkin benar kalau memang aku sudah gila. Terlalu sering bermain dengan ilusi hingga aku lupa caranya bahagia di dunia nyataku sendiri. Dunia yang seharusnya kujalani dengan membuka mata selebar mungkin. Melihat semua hal bukan hanya dari satu sisi tetapi juga dari sisi lainnya.
Tapi aku tidak bisa. Aku lebih memilih menjadi 'gila' di pikiran orang lain ketimbang gila di pikiranku sendiri. Aku bukan tipe pemendam yang meluapkan kekesalan dengan menyakiti diri sendiri atau orang lain. Aku juga bukan orang yang meluapkan perasaan lewat dairy atau puisi. Aku adalah orang yang meluapkan semua emosiku melalui ilusi. Tidak salah bukan? Aku tidak menyakiti siapa pun dalam hal ini.
"Lo mungkin nggak nyakitin siapa-siapa. Tapi lo nyakitin diri lo sendiri tanpa lo sadari, Tar. Lo berharap sama orang yang nggak pernah peduli sama lo."
"Sebaiknya memang aku nggak boleh sadar, Gas." Jujur saja aku agak tersinggung dengan ucapannya. Kulepaskan helm di kepalaku lalu bergegas pergi. Tak menghiraukan Bagas yang berteriak-teriak memanggilku di belakang. Aku tidak mengerti mengapa di matanya aku terlihat begitu buruk dengan semua ini. Padahal aku merasa kalau aku baik-baik saja. Sama sekali tidak merasa dirugikan atas apa pun.
"Tar, gue minta maaf. Gue nggak maksud bilang gitu." Aku tak mengubris perkataannya-bersikap cuek seolah dia tak ada yang mengajakku bicara. Aku tahu, semua yang dia lakukan selalu bermaksud baik. Tapi ini hidupku, bukan hidupnya. Aku yang mengatur hidupku sendiri, mau kubawa kemana itu urusanku bukan urusannya.
"Tar.." Bagas menahan langkahku, jarinya menggenggam erat pergelangan tanganku membuatku mau tak mau berhenti. "Please.. dengerin gue. Gue sahabat lo, Tar, gue cuma pengin yang terbaik buat lo."
"Kalau kamu sahabat aku. Harusnya kamu nggak bikin aku down dengan semua kata-kata kamu. Ini hidup aku, Gas, biar aku yang atur sendiri, nggak perlu kamu ikut campur." kutepis genggamannya hingga terlepas, memilih untuk berlalu pergi menuju kelas. Tempat di mana semua ilusiku berjalan dengan lancar.
Sampai di kelas kutemukan Nando sedang sibuk berkutat dengan buku fisika yang tebal. Sesekali, aku melihat ia mengusap matanya yang mulai lelah karena terlalu banyak membaca. Kalau boleh memberi saran, mungkin akan kusarankan padanya agar tidak terlalu memaksakan diri dalam belajar. Otaknya memerlukan istirahat. Menjadi yang terbaik tidak harus mengorbankan kesehatan, bukan? Namun, aku tak berani menegur apalagi memberi saran.
Akhirnya yang kulakukan hanya duduk ditempatku. Melakukan hal yang seharusnya aku lakukan yakni menemaninya membaca. Sengaja kulepaskan kacamata minusku agar bisa merasakan apa tengah Nando rasakan saat ini. Lelah. Mataku mulai terasa perih dan berair namun aku menikmatinya. Sebab jika nanti Nando sakit mata, maka dia tak sendirian. Ada aku yang akan menemaninya.
"Jangan suka maksain sesuatu yang lo sendiri nggak bisa lakuin." Aku mengenali suara itu. Suara yang begitu khas dengan sedikit serak. Aku mendongak, mendapati Nando berdiri di hadapanku dengan ekspresi yang tidak bisa kulihat dengan jelas. Mataku benar-benar perih. Tanganku berusaha mencari-cari letak kaca mata minusku, namun Nando terlebih dahulu mengambil dan memakaikannya di mataku.
Aku melihat dengan jelas wajahnya berada cukup dekat dengaku. Dari jarak seperti ini, aku bisa melihat beberapa jerawat yang ada di wajahnya. Semuanya terlihat dengan sangat jelas termasuk ekpresi marah yang ada di wajah, Nando. Ekspresi marah yang tak tahu harus kuartikan bagaimana. Marah karena dia khawatir atau marah dalam artian karena memang dia baik pada semua orang?
KAMU SEDANG MEMBACA
Dia dan Ilusiku [Completed✔]
Teen Fiction[ Selesai ditulis 17 juni 2019 ] ================================== Note : Follow terlebih dahulu sebelum membaca. ================================== •Attention : Cerita mengandung unsur ketagihan. Baca 1 part dan kalian akan kecanduan sampai endin...