Udara malam begitu menusuk kurasai, aspal-aspal jalan perkotaan masih licin bekas diguyur hujan. Bola-bola lampu tak henti-hentinya redup menyinari siapa saja yang melintas di depan trotoar depan mall kota. Jam tangan bututku menunjukkan pukul setengah Sembilan malam, waktuku untuk pulang. Sungguh aku muak dengan keramaian kota seperti ini. Kulaju sepeda motorku sambil meludah di depan halte bus dengan wajah separuh sinis.
Rupanya suatu tempat mampu membangkitkan emosional ketika seseorang memiliki kenangan tersendiri di tempat tersebut. Entah kenangan bersama orang-orang yang dicintai atau lain sebagainya. Itulah yang sedang kualami. Dua tahun lalu bagai petir yang menyambar sekujur tubuhku. Waktu serasa menalanjangi diriku. Bagaimana bisa seseorang yang kau perjuangkan harus pergi meninggalkanmu dengan cara yang sadis serta waktu yang begitu singkat. Sesingkat kilat membuat garis-garis abstrak di langit-langit bumi.
Berbatang-batang kretek telah habis kuhisap, dua cangkir kopi juga telah habis menyisakan ampas yang tak enak tuk dipandang. Namun kenangan pahit itu belum juga pergi dari pikiranku, persetan. Sepertinya ia ingin berlama-lama berada di dalam pikiranku hingga akhirnya aku menjadi orang yang tidak waras. Biarlah, setidaknya aku masih memiliki banyak koleksi buku dan instrument-instrumen musik klasik yang dapat kujadikan obat penenang sementara.
Rutinitasku masih sama, hanya saja agaknya ada yang berbeda setelah perpisahan itu. Aku tak begitu yakin untuk membuka hatiku untuk orang lain. Jika perempuan mengatakan bahwasanya setiap pria itu sama saja. Kali ini aku sebagai pria yang seharusnya mengatakan seperti itu. Sampai saat ini pun aku belum menemukan alasan kenapa ia pergi meninggalkanku begitu saja tanpa ku tahu sedikitpun apa yang menjadi landasan dasar utamanya. Entahlah, apapun alasannya bagiku itu adalah salah satu perbuatan konyol yang dilarang oleh sebagian manusia yang memiliki perasaan, termasuk aku. Malang memang, tetapi itulah cinta dalam beberapa konteks kehidupan manusia.
“Aku pernah melihat sekumpulan remaja yang sedang asik menyuarakan aksara di bawah bulan purnama. Di sekitarnya aku melihat beberapa botol vodka. Jelas aku iri dengan mereka, aku kalah bahagia dengan mereka. Bahkan ketika gelas loki itu berputar, mereka amnesia soal cinta. Apa itu cinta, siapa itu cinta. Yang mereka tahu hanyalah bahagia.”
Melupakanmu bukanlah perkara yang mudah, mungkin bagi sebagian orang mudah, bahkan sangat mudah. Mengapa kukatakan demikian, karena tiap-tiap hati memiliki batas-batas nurani yang berbeda-beda. Kuakui, aku adalah salah satu manusia yang lemah dalam perihal cinta. Mungkin organ hati yang ada di dalam tubuhku besarnya dua kali lipat dari ukuran normalnya, hingga menutupi bagian-bagian organ lainnya. Akibatnya fungsi-fungsi dari organ tubuhku yang lain menjadi terganggu.
Sempat aku berada pada kondisi di mana rasa putus asa mulai muncul saat aku berusaha keras melupakanmu. Bersyukur logika masih berada tipis di atasnya. Saat itu aku mulai kembali mengumpulkan puisi-puisi yang pernah kubuat untukmu yang kusimpan di dalam laci mejaku. Kubaca satu persatu, tanpa sadar aku kembali merasakan kau ada di pangkuanku dan menikmati puisi-puisi yang kubacakan untukmu.
“Aku ingin mencintaimu dengan istimewa, seistimewa Sapardi membuat sajak-sajak terbaiknya.”
Saat itu kau tersipu malu, senyummu masih teringat jelas, parasmu yang manis selalu kujadikan inspirasi kala aku merangkai aksara. Semesta seolah setuju dengan kehadiran kita berdua, burung-burung berterbangan mengitari beranda rumah. Sungguh penggalan kenangan sederhana yang mampu menimbulkan tawa juga air mata.
Tepat hari ini adalah hari bahagiamu tiba setelah seminggu sebelumya aku mendapatkan surat undangan pernikahan yang bertuliskan namamu yang kutemukan di beranda rumahku. Aku tak menyangka kau masih ingat denganku setelah apa yang telah kau perbuat dua tahun lalu kepadaku. Entah sandiwara apalagi yang ingin kau pertunjukkan. Jelas aku ragu atas kedatanganku nanti, jangan-jangan ini hanya akan menjadi luka goresan tambahan yang akan kau buat sebelum aku benar-benar telah melupakanmu.
Tanpa pikir panjang aku pun datang. Tak ada yang berbeda sepanjang jalan menuju rumahmu. Hanya saja perasaanku yang berbeda. Kiranya pepohonan yang rimbun cukup untuk meneduhkan hati serta perasaanku. Kedatanganku ini semata-mata hanya untuk sekedar memenuhi janjiku padamu dulu. Percayalah bahwa masih ada seseorang yang akan bahagia ketika melihat kekasihnya bahagia hidup bersama orang yang dicintainya.
Air mata jatuh tak tertahankan ketika aku melihat bahwa apa yang sedang kulihat ini adalah sesuatu yang nyata. Kau duduk berdua dengan orang yang telah kau pilih sebagai teman hidupmu. Dan itu jelas bukan aku. “Bukankah kebahagiaan datang setelah penderitaan?” Iya, semoga ini akan menjadi akhir dari segala penderitaanku.
“Kau bagai kenangan yang telah terkubur dalam-dalam namun tetap memaksa tuk muncul ke permukaan.”
Kiranya aku sudah memenuhi janjiku untuk tetap bahagia melihatmu hidup bahagia dengan orang lain meski yang berada dibalik ini semua adalah perasaan yang terluka. Selamat atas kebahagiaan yang telah tercipta, sedangkan kebahagiaanku masih menjadi sesuatu yang tertunda.
"Melupakan adalah tugas berat yang tak semua orang mampu tuk menyelesaikannya."
KAMU SEDANG MEMBACA
MANUSKRIP
Dragoste"Melupakan adalah tugas berat yang tak semua orang mampu tuk menyelesaikannya."