Makan malam hari itu lebih terasa dingin dari kemarin-kemarin. Juga sikap Radha yang sangat pendiam. Itu sangat bukan Radha si ekstrovert.
Azzam yang paling memperhatikan. "Dha, lo kenapa?" Radha mengangkat pandangannya dari piring. Begitu pun keluarganya yang lain, menatap Azzam dan Radha bergantian.
"Gak apa-apa kok," jawab Radha seadanya dengan ekspresi polos.
"Biasanya juga cerewet, ini kok diam aja?" Azzam takkan berhenti sampai adiknya itu bercerita. Karena dia melihat perubahan itu sudah dari minggu lalu dan sekarang makin memarah.
Radha menggeleng. "Enggak kok, biasa aja." Jawab Radha lagi.
Ayahnya menatap Radha lekat. "Kamu kalau ada masalah itu cerita sama keluarga, jangan dipendam sendirian aja,"
Radha merasa kesal, tapi mampu menutupinya. Seharusnya Ayahnya peka kalau ini ada sangkut pautnya dengan pernikahan itu. Seandainya itu semua tak terjadi, mungkin drama hidupnya tidak sesinetron ini. "Enggak ada kok. Radha baik-baik aja," dia kembali fokus pada makanan, menghiraukan tatapan keluarganya.
Selesai makan malam dan mencuci piring bersama Inah, Radha berjalan menuju kamarnya tanpa berpamitan dengan Inah. "Radha?" wanita 27 tahun itu tak suka dengan perubahan adiknya sekarang.
Radha menoleh, tapi tak berjalan mendekati kakaknya. "Iya?"
Alis Inah bertautan, pertanda dia sedang tidak nyaman dengan situasi. Dia berjalan mendekati adik bungsunya yang hendak menaiki tangga. "Lo kenapa sih?"
Radha mendengus. Kenapa sih orang-orang suka menanyakan kondisi dirinya? Tanpa bertanya pun seharusnya mereka bisa menyimpulkan kalau Radha sedang tidak baik-baik saja. "Apanya yang kenapa? Biasa aja tuh,"
Inah menggeram kesal. "Sejak kapan lo setertutup ini sama gua?" Radha pastikan Inah memang sedang marah.
"Dibilangin gua gak apa-apa," Radha ikutan kesal. Entahla, akhir-akhir ini dia lebih sensitif.
"DHA!" Radha kaget kakaknya berteriak. "Itu hidung lo mimisan!" katanya. Radha menyentuh lubang hidungnya. Benar saja.
Cepat Inah menarik Radha menuju washtafel, membantu adiknya membersihkan darah di hidungnya. "Itukan, lo pasti ada masalah, terus dipendam sendiri. Makanya jadi mimisan gini," Inah mengomel. Radha tak membantah.
"Ck, mana sih tisu!" Inah misuh-misuh sendiri. Dia berlari menuju ruang keluarga dan mengambil kotak tisu yang bertengger didekat TV. Lalu, berlari lagi ke arah dapur.
"Madep sini cepat!" Radha menurut. Kakaknya cekatan membersihkan darah yang masih mengalir.
"Pokoknya lain kali kalau ada masalah cerita!" Inah membuang tisu penuh bercak darah itu ke tong sampah. "Kalau ngerasa capek istirahat! Jangan dipaksain! Paham lo?"
Radha mengangguk saja, lagi malas untuk berdebat. "Ya udah, sana tidur!" perintah Inah dan Radha menuruti lagi. Setidaknya memang ada orang yang peduli padanya tanpa meminta balasan.
***
Radha tetaplah Radha yang keras kepala, dia tak sepenuhnya menuruti perintah Inah. Gadis itu tidak beranjak tidur. Dia malah memilih duduk di kursi belajarnya. Bukan untuk belajar tentunya, perempuan itu sibuk mengamati cokelat pemberian Raihan. Rasanya sayang kalau dimakan.
Apalagi dia baru pertama kali dikasih cokelat sama cowok. Terkecuali Azzam, itu beda!
Suara denting notifikasi mengubah haluan fokus Radha. Dia menggapai ponselnya yang sedang mengisi daya batrei. Ada sebelas panggilan tak terjawab dari hanum. Chat pun sudah melebihi 999+
Tiba-tiba firasatnya menjadi tak enak. Cepat dibukanya grup kelas yang paling banyak notifikasinya. Jantungnya berdebar tak karuan saat teman-temannya menuliskan innalillahi wainna ilaihi roji'un. Dengan tangan bergetar Radha menscroll, tapi masih belum menemukan apa-apa.
Akhirnya dia memilih menekan media yang terkirim di grup. Foto paling pertama yang keluar adalah seseorang yang tertutup kain putih di ruang jenazah. Cepat Radha kembali ke ruang obrolan, menscroll pelan untuk menemukan jawaban.
Pesan dari Tommy dia temukan. Rasanya waktu membeku dan seperti disiram air es sekujur tubuh. "Gua gak nyangka Raihan pergi secepat ini. Baru tadi perasaan gua main sama dia," begitu isi pesannya.
Radha sangat sulit menelan salivanya. Matanya memburam karena air mata. Bahkan untuk mencari kontak WhatsApp Hanum saja sulit karena tangannya bergetar hebat. Isak tangisnya lolos bersamaan dengan nada sambung ke kontak Hanum.
"Halo, assalamu'alaikum?" suara Hanum terdengar serak. Ada kebisingan disana.
"Wa'alaikumussalam. Num-"
"Raihan udah ga ada, Mi." Rasanya tenggorokan Radha amat sangat sakit karena tercekat. Suara Hanum yang menangis semakin menambah pilunya.
"Itu gak betulkan, Num?" pelan Radha berbicara. Hanum tak membalas, hanya terdengar suara tangis yang semakin keras di ujung sana.
Radha seperti mati rasa.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Mendadak Khitbah
SpiritualJatuh cinta itu mudah, bisa dengan siapa saja. Tetapi, jatuh cinta pada orang yang tepat sekaligus karena Allah itu yang sulit. *** TOLONG DIPAHAMI KALAU CERITA INI BELUM REVISI SEPENUHNYA. JADI, KALAU ADA PENULISAN ATAU FAKTA2 YG KELIRU DI MAKLUMI...