"Bahwa sesuatu yang tidak akan pernah datang lagi adalah sesuatu yang membuat hidup menjadi manis."
—Emily Dickinson
๑۩๑๑۩๑๑۩๑
Hinata tidak tahu mengapa Nero berhenti tepat di tengah mereka mencapai klimaks malam ini. Gadis itu terheran-heran di tengah mereka sama-sama terengah, tetapi si pirang itu memutuskan untuk merangkak ke sampingnya. Dia segera mengambil duduk, saat kekasihnya termenung, dan seperti menyesali sesuatu yang salah—semua yang mereka lakukan, ketika apa yang terjadi kini sebenarnya disebut-sebut sebagai bentuk kesalahan besar yang tidak harus dilakukan di sepanjang hari ini. Lalu Nata segera menutup tubuhnya dengan selimut sampai ke atas dadanya. Membasahi bibirnya berkali-kali hingga menarik napas panjang, setelah itu sedikit berteriak untuk bertanya, "Apa yang terjadi padamu?"
Nero menoleh, jari-jarinya bergerak saling menyapu. Kepalanya dipenuhi oleh setiap kata-kata dari sang Ayah di tengah malam itu. Di saat orangtuanya membicarakan sesuatu. Awalnya dia mengira bahwa orangtuanya siap untuk saling memuaskan malam itu, tapi apa? Di tengah jalan dia mendengar sesuatu yang lebih mengerikan daripada dia bisa mengintip Ibu dan Ayahnya bersetubuh. Jangan katakan hal seperti itu pada Hiashi, atau anak kita akan dimarahi habis-habisan olehnya. Sampai malam ini—padahal sudah terlewat selama dua hari, kalimat itu tidak berhenti berputar di benaknya. Ia ketakutan setengah mati, dan ini pertama kalinya dia merasa cemas.
"Kau tidak mendengarkan aku? Apa ini bentuk sebagai kau mengusir aku malam-malam begini?" Nero berada di antara pendiriannya yang kuat dalam hal bungkam. "Ayolah, apa yang terjadi? Apa kau merasakan kondom itu tidak terlalu aman? Kau merasa bahwa mungkin malam ini aku berada di masa subur sampai kau takut jika aku nanti hamil? Atau—"
"Apa kita menikah saja?" Nata terdiam, dan mendadak tenggorokan itu terasa amat kering.
"Ka-kau, gila?" gadis itu memerah, bahkan sesekali mengipasi wajahnya yang mendadak terasa panas. "Ki-kita bahkan baru umur 25 tahun." Dia bergerak ke dekat Nero, duduk bersandar pada sandaran ranjang. Memandang ke depan seakan ada lautan membentang dengan sapuan angin atau suara camar yang khas. "Kau saja tidak memiliki pekerjaan tetap. Mau makan apa nanti aku!" ejek Nata.
"Aku bisa bekerja apa pun itu," Nero mendadak merasa tidak terima, tapi sebenarnya, dia benci diremehkan oleh Nata. "Aku malah jauh lebih berpengalaman daripada dirimu. Kau tahu, aku pernah menjadi sopir untuk pengiriman barang, dan sebelum bekerja di supermarket besar itu dan keluar dari sana, aku bekerja menjadi—" Nero mendadak terdiam. Dia tidak bisa pamer pada Nata tentang pekerjaan serabutan bahkan pekerjaan berat seperti menjadi kuli bangunan. "Ya, pokoknya pengalaman kerjaku banyak. Aku bisa bekerja apa pun untuk keluarga kita."
"Benarkah?" Nata menoleh. "Kau akan bertanggungjawab nanti pada keluarga kita?"
"Memang aku pria apaan sampai tidak bertanggungjawab untuk membahagiakan dirimu?" Nata mendekap lengannya sangat erat. Gadis itu tersenyum tidak bisa berhenti. "Kau sepertinya sangat senang,"
"Seperti yang kau lihat, berarti aku setiap hari bersama denganmu. Dan jika memang itu yang kau inginkan, aku tidak sabar untuk mendengar kau mengatakan janji sehidup semati, suka maupun duka pada pendeta."
"Tapi, apakah keluarga kita setuju?" tanya Nero pada Nata, gadis itu kemudian berhenti memeluk lengannya. Kembali memandang ke depan—padahal hanya ada tembok kosong tanpa ada hiasan apa pun seperti lukisan atau apa. Namun seakan-akan di depan sana memiliki sebuah objek yang menenangkan jiwa. "Bagaimana tanggapan ayahmu tentang aku?"
"Omong-omong, aku memang tidak pernah membahas hubungan kita di meja makan. Apakah perlu membuka topik pada mereka, dan meminta pendapat?"
"Kau bisa melakukan itu?"
YOU ARE READING
E N O R M O U S ✔
RandomKeluarga kaya raya kehilangan putra mereka dalam perjalanan keliling Eropa. Sementara ada dua pria Jepang yang mengadopsi anak laki-laki dan menjadikannya sebagai pembunuh bayaran andal. Tepat dua puluh tahun kemudian, anak laki-laki itu mulai menge...