Satu

0 0 0
                                    

"Tidakkah kau berpikir bumi ini datar?", tanyanya memandangku dengan satu kedipan mata.
Aku masih terdiam, bergelut dengan buku yang sedari pagi tadi aku baca. Aku bahkan tak menoleh padanya, aku merasa terlalu sibuk untuk menjawab pertanyaan konyol itu.
"Hey, apa kau mau mengabaikanku, tuan "beruang kutub". Kita sudah tigapuluh menit disini, sedangkan kau masih saja bicara satu katapun padaku. Apa aku ini cuma kau anggap burung beo?". Dia bicara panjang lebar sambil memonyongkan bibirnya.
"Oh tidak, jangan lagi. Kalau sudah seperti itu biasanya dia akan ngambek, dan lebih buruk lagi tak mau bicara denganku selama seminggu. Oh, tidak. Mau tak mau aku harus menjawabnya.
"Aku tak yakin" jawabku singkat sambil melempar senyumku. Aku lihat pipinya sedikit memerah. Tapi aku tak peduli itu.
"Klise, seperti biasa. Kau tahu, kau itu terlalu dingin, dan kau tak peduli dengan orang lain yang ada disekitarmu. Mukamu tidak cocok dengan sifat dinginmu itu" jawabnya dengan tertunduk. Aku yakin da juga menahan malu sekarang.
"Kau sudah mengatakan ini 243 kali, dan ini yang ke 244" jawabku lagi tak bergeming.
"Oh ya? Ternyata kau memperhatikanku tuan "beruang kutub", aku bahkan heran kenapa aku bisa terjebak di kelas yang sama denganmu" ungkapnya menunjukkan kekesalan di nada bicaranya.
"Aku bosan disini, seharusnya aku tidak bersama denganmu saat ini. well, mungkin hari ini hari sialku" katanya sambil menggoda, yang serih membuatku risih.
"Kau mau kemana?" Tanyaku sambil menutup buku yang sedari tadi aku baca.
"7th Heaven Coffe" katanya sambil  melempar senyuman kecil lengkap dengan gaya kekanak-kanakan. Kadang aku luluh juga dengan senyuman itu, mengingatkan aku saat aku masih kecil yang sedang memohon pada ibuku.
Dia menarik tanganku, mengggandengku dengan erat dan menuntun ke area parkir.
Sepanjang perjalanan ke area parkir dia tetap saja menggandeng tanganku. Dan tentu saja itu mengundang banyak pasang mata, ada yang menatap sinis, marah dan juga kagum. Well, memang tak aku pungkiri karena dia memang cantik dan juga manis. Dua perpaduan hebat yang sangat sulit ditemukan.
Aku hanya berjalan beriringan dengannya. Mengikuti setiap langkah kakinya. Ya dia memang selalu seperti ini, setidaknya dari empat bulan lalu. Aku juga tak tahu kenapa aku tak menjauh, padahal aku jarang sekali punya teman, hanya beberapa sahabat.
"Ayo cepat, aku bosan disini" ugkapnya sambil menggocangkan tubuhku. Entah kapan aku sampai, yang jelas kini motor tuaku sudah ada didepan mataku. Ya, motor tua, sangat classic yang aku permak sedikit tampilannya dengan sedikit tambahan agar lebih macho.
"Pegangan" kataku singkat.
7th heaven coffe adalah kedai kopi paling enak dengan tempat paling nyaman di kota ini. Jaraknya tak terlalu jauh dari kampusku, sekitar lima belas menit naik motor.
"Hey, kau sedang menyukai seseorang?" Tanyanya memecahkan kesunyian.
Pertanyaan macam apa ini, yang benar saja. Aku menyukai sesorang. Mimpipun tak pernah.
"Tidak" jawabku singkat.
"Hmmmm, apa aku tak salah dengar" katanya dengan sedikit mengejek.
"Terserah kau saja".
Kami akhirnya sampai di  kedai.
"Toraja tubruk, dan espresso, pake krim ya mbak" pesanku sesampainya di sana.
"Ciiiie, emang kamu perhatian sama aku, hahaha"
"Memang, bahkan aku tahu ukuran bramu" kataku padanya dengan berbisik. Dia memukul pundakku dengan sewot.
Memang aku sering menggodanya, tapi tak sampai seperti ini.
Kitapun berjalan menuju tenpat biasa kita nongkrong disini, meja dipojok yang agak jauh dari keramaian. Memang aku tak suka keramaian, itu bisa membuatku gila. Berlebihan memang, tapi percayalah. Aku lebih memilih mengitari stadion seratus kali daripada berada di keramaian.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 10, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

AKUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang