Pecinta Vanilla (PART 2)

767 14 0
                                    

Ryuzaki POV

Aku sengaja menggantung tubuh manis Rion dilangit-langit. Sudah lama mengintai dan menginginkan, bahkan memiliki tubuh indah dari sosok Rion—seorang bocah kampus yang selalu menguntitku disetiap aku nge-gym. Bukannya risih, namun adrenaliku serta nafsu binalku semakin naik.

Hampir setiap dua minggu sekali, aku menahan mati-matian hasratku terutama 'aset'ku yang ada dibalik celana dalam ini. Selalu terbangun bila bertemu dengan Rion, aku sudah berusaha mengabaikannya demi keamanan bersama—tapi hari ini, pertahanku roboh sudah. Tekad Rion yang membuntutiku hingga kekamar mandi, hampir membuatku mati berdiri ketika lelaki itu tanpa sengaja mengintip bilik tetangga yang sedang bercinta.

Hari ini pun aku membawa pulang lelaki yang sudah—ah, lebih tepatnya sengaja aku bius untuk menghindari segala risiko yang tidak bisa aku pertanggungjawaban nantinya. Melihatnya menggantung dilangit-langit membuatku tersenyum bahagia, aku amat senang mendapatkan lelaki itu.

Berdasarkan informasi, Rion adalah lelaki asal Indonesia tepatnya dari daerah Jawa. Dia tinggal seorang diri di kota Tokyo, disebuah apartemen murah pinggir kota. Dia memperoleh beasiswa untuk melanjutkan pendidikan di Tokyo. Rion melakoni banyak part-time, demi keberlangsungan hidupnya di Tokyo. Cukup basa-basinya dengan kisah Rion, sekarang aku akan mencoba seluruh 'mainan' yang aku punya untuk sebuah kenikmatan.

Aku mengambil sebuah vibriator berbentuk cincin, sebelum memasukannya terlebih dahulu membasahinya dengan gel, kemudian memasukannya dan memasang cincin tersebut pada bola-bolanya. "Enghh..." Dia mengerang ketika kutekan tombol on dan langsung mempercepat getarannya pada tingkat maksimal.

Senyumku kembali mengembang. Rion sungguh berbeda dari submissive yang lain, selalu meronta, bahkan ada yang pernah menjejalkan kakinya pada aset berhargaku. Tak banyak bicara, aku langsung memutuskan hubungan secara sepihak, memberikan cek dengan nominal cukup banyak dan mengusirnya cepat-cepat.

"Aku ingin menyetubuhimu." Bisikku tepat ditelinganya. Nafasku perlahan menerpa kulit lehernya, lagi-lagi membuatnya mendesah seksi. Ah, aku melepaskan celana dalamku, membuangnya sembarang arah dan langsung mengambil posisi tepat dibelakang tubuh Rion. Aku sejenak menatatap punggung mulusnya, yang sudah kemerahan karena sejak tadi aku mencambukinya dengan cukup ganas.

Sebelum memasukinya, perlahan aku menyelusuri punggung indah Rion, meninggalkan kissmark disana sebagai tanda Rio milikku. Hanya milik seorang Ryuzaki Shinichi—CEO perusahaan ternama di Tokyo. Puas dengan punggung mulus Rion, aku mengarahkan kepala asetku tepat didepan lubang miliknya yang sudah matang untuk disantap. Perlahan aku menggoda lubang miliknya dengan kepala asetku, barulah memasukkannya secara perlahan. Menggerakannya secara halus, kemudian mempercepat tempo dorongan dan berujung pada kebrutalan.

Rasanya sempit dan nikmat. Bersentuhan langsung dengan dua vibriator yang masih bergetar dengan tingkat maksimal. Kedua tanganku tak tinggal diam, kuraih kedua puttingnya dan memilinnya. Desahan tertahankan kembali terdengar, Rion mendesah lagi dan kulihat tepat dibawah kepalanya berceceran air liurnya. Pinggulku tak berhenti untuk mendorong, hingga aku menemukan titik sensitive milik Rion.

Salah satu tanganku meninggalkan puttingnya, berahli mengocok milik Rion yang sudah tadi menegang hanya sebuah vibriator saja."Bersama-sama." ucapku saat tanganku merasakan aset Rion berkedut hebat, mungkin tanda-tanda ia sudah mencapai klimaks. Aku pun juga hampir mencapai klimaks, sekali dorong kali dan semua tubuh Rion menjadi milikku.

*

Aku menbopong Rion dan membaringkan perlahan diatas ranjang kamar tidurku. Lelaki itu pingsan setelah pencapaiannya. Entah sebelumnya ia sudah mencapai klimaks atau belum, aku tak tahu. Tanganku perlahan menyelusuri wajah indahnya, menyingkirkan helaian rambut yang menutupi salah satu matanya. Dia menggeliat, sepertinya jika aku meneruskan ini akan membangunkan tidurnya.

Lantas kutinggalkan Rion yang sudah tertidur untuk mandi. Air shower mengucur deras, membasahi rambutku hingga bagian kaki. Sungguh menyegarkan, semua rasa lengket akibat 'bermain' sudah hilang dari tubuhku. Hari ini aku memutuskan untuk meliburkan diri, sekedar menikmati waktu bersamaku bersama Rion dan aku akan membahas lebih hubungan ini.

Semua percintaan ini sudah dimulai semenjak aku duduk dibangku SMA kelas tiga dan Rion duduk dibangku SMA kelas satu. Kesibukan dan pemalu, membuatku susah mendekati sosok Rion yang begitu popular dikalangan murid-murid perempuan. Hanya saja Rion masih belum menyadarinya, siapa aku sebenarnya.

Rion adalah adik kelasku, saat duduk dibangku 3 SMA. Perbedaan dunia dan kepopuleran membuatku dan Rion mempunyai jarak seperti langit dan bumi. Rion yang begitu popular, pintar, dan selalu ikut berbagai macam kepanitiaan justru memperlebar jarak diantara kami berdua. Aku, anak kutu buku dan terbilang kuper. Selalu dibully entah dengan adik kelas maupun teman seangkatan. Selalu bersarang di perpustakaan, baik hanya untuk mengerjakan PR atau melarikan diri dari hingar-bingar masa SMA ini.

Berkali-kali aku selalu menghindarinya. Sesekali waktu, Rion mengejarku hingga ke halaman belakang sekolah kami. "Kenapa kamu selalu menghindari?" tanyanya langsung pada pokok pembicaraan. Sekolah nampak sepi, waktu pulang sekolah sudah berlalu tiga puluh menit. Rion sejenak mengedarkan pandangannya kepenjuru sekolah, seakan ia akan melakukan tindakan yang tidak baik.

"Aku menyukai kak Shinichi." Bibir Rion mendarat tepat diatas bibirku, mengecup dengan lembut, terkadang mengisap dan ia menggigit bibir bawahku. Lidahnya menjelajahi ketika aku menarik bibirku untuk lepas dari pangutannya, memberikan akses untuk masuk dan bergerlia didalamku.

Salvia kami masih saling menyatu ketika bibir kami menjauh. "Apa kak Shinichi mempunyai perasaan yang sama?" Rion berbicara lagi, dengan tatapan penuh harapan padaku. Hati kecilku kembali berperang dengan akal sehatku. Aku memang menyukai Rion, namun jika rasa suka itu dijadikan sebuah hubungan aku tak yakin akan bertahan dengan lama—karena para murid perempuan tak akan rela Rion berpacaran dengan siapapun.

"Aku juga menyukaimu, tapi aku tak bisa menerimamu. Biarkan aku berkembang menjadi lebih dewasa dan sukses, barulah aku akan mencarimu lagi." Pembicaraan kami berakhir ketika seorang guru memanggil kami berdua untuk segera pulang. Dan itulah pertama dan terakhir kami berbicara.

"Saya menyukai Rion."

Kedua mata Rion terbelalak, aku menangkap signal-signal kebingungan yang terpancar diawajahnya. "Manis," komentarku membuat pipi Rion merah merona. Ia malu. Rion tanpa basa-basi langsung mengalungkan kedua tangannya pada leherku, menarik tangannya untuk menghapus jarak dan bibir kecilnya mengecup bibiku dengan sensual. Kami berciuman cukup lama. "Aku juga menyukaimu, Mr." katanya. Aku hanya tersenyum, ia nampak gugup saat memanggilku dengan sebutan, 'Mr'.

"Mau melanjutkan yang 'bermain' lagi?"

Rion hanya mengangguk dan aku menggendongnya menuju kamar bermainku. Berjalannnya hubungan ini, aku akan menceritakan bahwa aku adalah kakak kelasnya dulu, yang selalu dimusuhi seatereo sekolah.

*END*

Diary of MenWhere stories live. Discover now