Untuk kamu yang pernah kunamai Biru,
Aku tidak akan memulai surat ini dengan sapaan. Selain karena kau sedang duduk di sebelahku, surat ini harusnya hanya berisi ucapan selamat tinggal. Ya, ini akhirnya. Maka dari itu kita hanya diam sedari tadi, tidak bisa berpura-pura semuanya baik-baik saja dan berbincang selagi menanti kereta datang.
Aku tidak punya banyak hal untuk disampaikan. Tapi mengingat ini adalah kali terakhir untuk segalanya, maka aku akan bilang bahwa kita pasti akan membaik. Yakinlah, kita akan menemukan obat atas luka yang kita ciptakan sendiri. Meski itu artinya, kita tidak bisa lagi ada untuk satu sama lain.
Jarak ternyata memang jahat, membuat kita lupa diri dan justru saling menemukan satu sama lain. Di saat orang lain justru menjaga hatinya untuk kita. Ah, aku tidak seharusnya mengkambinghitamkan jarak.
Aku dan kamu harus sama-sama tahu, kitalah penyebab kekacauan ini. Dan sebesar apapun rasa yang tercipta di antara kita, tidaklah pantas untuk menyakiti hati orang-orang baik itu. Tidak mungkin mengorbankan mereka yang sudah segenap hati merindukan kita. Kita memang berkhianat, jadi semua ini harus dihentikan sebelum mereka tahu dan terluka lebih dalam.
Selamat tinggal, meski mungkin setiap melihat langit biru aku akan teringat pada senyum tipismu, atau laut biru yang mengingatkanku pada tatapan sendumu, serta sekian biru lainnya yang identik denganmu.
Keretanya sudah datang. Kita akan segera menyusul orang-orang baik itu. Mereka tidak perlu tahu. Karena bisa aku pastikan, pelukan di stasiun ini adalah pengkhianatan kita yang teramat akhir.
Dari aku yang mungkin harus kembali menyukai hijau ketimbang biru.