.Hari Senin pertama,
Jam di tanganku sudah menunjukkan pukul lima sore, tapi aku masih terdiam disini. Di sudut sekolah merenung mendengarkan suara terindah di bumi, suara hujan. Entah mengapa, hari Senin-ku selalu berujung seperti ini, seakan-akan dewa kesialan selalu mengekoriku di hari Senin. Fyuh, kenapa hujan ini tak kunjung berhenti? Aku memang suka hujan, tapi aku tidak suka kehujanan.
Waktu terus berputar, aku tidak bisa terus-terusan berdiam disini sampai tua mengingat besok ada jadwal ulangan matematika, dan aku belum mempersiapkan apapun. Aku memutuskan untuk pulang, lagi pula hujan sudah mulai mengecil, hanya tersisa rintik-rintik yang apabila aku berlari menembusnya, aku tidak akan begitu kebasahan dan sebenarnya rumahku tidak terlalu jauh, sih.
Belum setengah jalan aku berlari melawan hujan, ada seseorang yang ikut berlari denganku dan memayungiku, dan dia seorang lelaki. Tentu saja aku terkejut bukan main. Masalahnya, aku tidak pernah mengenal teman dekat sejenis laki-laki, mencari teman perempuan saja aku kesulitan. Omong-omong, aku belum melihat wajahnya karena tertutupi payung, aku hanya melihat tangannya yang kekar seperti tangan-tangan atlet basket, juga sepatu sport nya yang berwarna biru tua. Sial, siapa dia? Aku tidak peduli, yang terpenting aku tidak kehujanan.
Sesampainya aku dirumah, aku mendapatkan sebuah pesan dari nomor yang tidak dikenal,
"Sudah sampai? Jangan lupa mandi menggunakan air hangat dan minumlah secangkir teh manis hangat. Jika tidak, nanti kamu akan demam."
Aku mengerutkan keningku dan membiarkan pesan itu tak terbalas.
Hari Senin kedua,
Satu minggu telah berlalu, sekarang aku sedang berlarian terbirit-birit menuju sekolah berharap gerbang masih terbuka untukku. Tetapi ini hari Senin, mana mungkin aku bisa seberuntung itu, gerbang sekolah sudah tertutup. Aku menghela nafas dan merutuki kebodohanku.
Sudah sekitar setengah jam aku terduduk di depan gerbang sekolah, masih berharap dewi fortuna akan menjemputku dari belenggu dewa kesialan. Dan, benar saja. Tiba-tiba ada seorang siswa laki-laki yang masih lengkap menggunakan atribut upacara, membuka-kan gerbang untukku, "Ayo buruan masuk," begitu ucapnya dengan muka yang tak dihiasi senyuman sedikitpun. Suram sekali. Tapi, karena aku masih mengenal apa itu manner, maka aku tetap berterima-kasih kepadanya meski tak dihiraukan olehnya. Menyebalkan.
Hari Senin ketiga,
Sial. Aku tidak membawa buku paket fisikaku bagaimana ini. Padahal, aku yakin sekali sudah menaruhnya diloker. Aduuh! perutku tiba-tiba sakit membayangkan wajah guru fisika yang terkenal killer itu, apalagi ini tahun ketiga-ku disekolah, aku pasti akan mendapat hadiah istimewa darinya.
Kringg, kringg, ..
Suara bel jam pelajaran kedua berbunyi. Dengan cepat, aku meninggalkan toilet dan kembali menuju loker untuk mengambil buku fisika-ku. Anehnya, disamping buku tulisku, terdapat buku paket yang tersimpan dengan rapi padahal aku lupa tidak membawanya. Buku milik siapa ini?
Hari Senin keempat,
Ini hari pertama aku melaksanakan try-out dan kami sudah diberi matematika sebagai sarapan pagi, menyenangkan. Aku yang sangat bodoh dalam matematika ini, tentu saja sudah menyiapkan berbagai cara agar bisa mendapatkan jawaban dari temanku, Lana yang merupakan anak olimpiade matematika saat ia duduk di kelas 11.
"Ssst, Lana! Udah belum?" tanyaku sambil berbisik. Untung saja urutan absenku tepat diatas Lana, jadi aku tidak begitu kesulitan untuk ini.
"Monik!" Lana berseru sambil melemparkan penghapus yang berisi jawaban matematika. Sialnya, penghapus itu malah mendarat di meja pengawas. Lemparan yang bagus, Lana. Tidak heran nilai olahragamu selalu merah.
KAMU SEDANG MEMBACA
terimakasih dan maaf
Short Storyterimakasih karena telah ada. maaf karena telah terlambat.