Berbagai macam buku dari berbagai macam penerbit terbuka begitu saja di atas meja pribadinya. Sebuah buku tebal seukuran novel Harry Potter and The Deathly Hallows tengah dibacanya. Sesekali, matanya melirik ke arah layar laptopnya yang menyala, menampilkan serangkaian hasil rekam kesehatan seseorang. Dahinya berkerut mengetahui sesuatu yang dirasa ganjal. Minggu lalu datanya tidak serumit ini. Ada beberapa data yang berbeda.
Apa mama mengikuti terapi lain diluar rumah sakit?
Kacamata baca yang sedari tadi menemaninya membaca, dilepaskan dan diletakkan begitu saja di atas keyboard laptopnya. Membuang napas lelahnya ke udara, matanya menatap langit-langit ruangannya. Ruangan pribadinya. Jantungnya serasa terpacu dua kali lebih cepat dari biasanya. Entah karena melihat hasil rekam kesehatan mamanya atau karena gadis itu menerimanya.
Tangannya beralih menatap laptopnya, lantas tangannya bergerak mematikan benda canggih itu. Mengosongkan pikirannya sejenak dari rutinitasnya mungkin akan sedikit membuatnya rileks. Revan meraih ponselnya yang sedari tadi menganggur begitu saja di samping laptopnya. Matanya yang coklat gelap berbinar dan bibirnya tertarik menjadi sebuah senyuman sempurna begitu melihat potret seseorang. Terlihat begitu natural. Foto gadis itu, maksudnya adalah gadisnya, yang tengah menyedot jus di tangannya, gadis itu masih mengenakan seragam sekolahnya. Revan memotret gadis itu diam-diam, maka jadilah fotonya terlihat begitu alami. Apa adanya gadisnya.
Revano Fabriansyah Mahesa. Seorang pria berumur 24 tahun yang dikaruniai nikmat yang begitu besar dari Tuhan. Wajah tampan, kehidupan yang lebih dari sekedar kata berkecukupan, dan tentu saja, kecerdasan otak. Revan adalah seorang dokter spesialis penyakit dalam di sebuah rumah sakit yang paling besar di provinsinya. Papa Revan sudah meninggal tujuh bulan yang lalu. Gagal ginjal. Papanya tidak mau menerima donor ginjal dari Revan, putra semata wayangnya. Beliau lebih memilih menahan sakit dan selalu bolak balik ke rumah sakit daripada anaknya kehilangan satu ginjalnya. Revan dan mamanya menghormati keputusan yang telah diambil papanya. 2 tahun bertahan dengan obat dan alat-alat medis, akhirnya beliau kembali ke pangkuan Illahi, tujuh bulan yang lalu. Papanya mengetahui tentang Putri, papanya mendukung penuh dengan pilihan Revan. Bahkan, papanyalah yang membuatnya melamar gadis itu dengan begitu cepat. Begitu mendadak bagi Putri, namun sangat matang bagi Revan.
Semua kejadian ini berawal dari mamanya. Bu Fatmalah yang pertama kali mengenal Putri. Bu Fatmalah yang pertama bertemu dengan Putri. Dan Bu Fatma juga yang menyarankan Revan untuk meninggalkan keterpurukannya dan mencoba mengenal Putri lebih jauh. Revan enggan untuk pertama kalinya. Namun, karena mamanya terlihat sangat yakin, maka diam-diam dia mencari informasi tentang gadis itu, mengikutinya setiap dia keluar dari gerbang sekolah, baik saat dijemput ayahnya maupun keluar bersama temannya. Revan mengubah jam prakteknya di rumah sakit. Yang biasanya dari jam 8 pagi sampai jam 3 sore, berganti menjadi jam 8 pagi-jam 12 siang, setelah itu ia akan meluncur ke sekolah Putri, menanti gadisnya keluar dari sekolah, dan jam 4 hingga jam 8 malam ia akan berada di rumah sakit lagi. Jadwal rutinnya selama sekitar 2 tahun belakangan.
*****
Gadis itu merasa pikirannya kebas dengan semua hal yang sudah terasa menumpuk dalam dirinya. Di pikirannya dan di hatinya. Gadis itu ingin menangis sekarang juga. Tapi, keadaan sama sekali tidak memungkinkan. Dirinya masih ada jam pelajaran di sekolahnya. Masih satu jam pelajaran. Gadis itu mencoba menahan air mata yang sudah siap tumpah. Sepanjang pelajaran, gadis itu hanya diam dan diam. Tidak mengeluarkan satu katapun. Mungkin semua orang menyadari perubahan sikapnya. Dari yang selalu ceria, menjadi pendiam.
Saat bel tanda selesainya jam pelajaran hari ini berbunyi, gadis itu langsung menyandang tasnya dan keluar dari ruang kelasnya. Teriakkan teman sekelasnya yang memanggil namanya tak ia hiraukan sama sekali. Yang ia pedulikan saat ini hanyalah ia harus menemukan satu tempat yang bisa membuatnya merasa nyaman untuk menangis. Ia butuh sebuah tempat yang tenang, yang bisa menahannya untuk meluapkan segala yang ia rasa, barang hanya sejenak.