Aku menggigil. Ini malam yang dingin. Sangat dingin. Aku dan temanku duduk di teras sebuah gubuk reyot ketika angin malam berhembus menyapukan udara beku. Seutas senyum terajut dalam suasana yang membuatku justru merengut dan menggertakkan gigi. Senyum itu milik temanku. Katanya, "Aku akan membawakan sesuatu," dan setelah itu dia berdiri, berjalan melewatiku, kemudian menghilang.
Tidak lama setelah dia menghilang, hening malam yang tadinya terasa khidmat berubah menjadi sorak sorai penuh keramaian. "KU KU KU!" Suara burung hantu memenuhi setiap sudut semak dan pepohonan lebat yang menghampar di depan mataku. Entah apa dan kenapa aku juga tidak tahu. Angin malam kembali berhembus. Kali ini lebih kencang. Lebih dingin. Gemerisik rumput juga dedaunan pohon menandingi keributan yang tadi dibuat oleh para burung hantu. Lebih berisik. Sangat berisik. Lalu diam. Mereka diam. Angin malam itu berhenti berhembus dan malam kembali senyap. Kelam.
Tepukan di pundak membuyarkan fokusku pada keheningan yang mengelilingi. Temanku sudah kembali. Dia berjalan di depanku. Dia duduk di bangkunya. Kuperhatikan lagi wajahnya, dia sedang tersenyum. Tatapannya di arahkan kepadaku. Selain wajahnya, aku juga memperhatikan apa yang dibawanya. Tangan yang tampak kuat itu sedang memegang sebuah teko hitam. Rupanya bundar dan dengan pancar sinar lampu yang sedikit meredup di atas langit-langit teras, aku dapat melihat kilatan cahaya di permukaannya. Asap mengepul keluar dari ujung corong, pertanda kalau teko itu berisikan air mendidih. Ah, bagaimana mungkin aku bisa mengatakan kalau itu sebuah pertanda saat dingin yang mengepung sekonyong-konyong lenyap begitu saja. Bukan lagi pertanda itu. Bukan.
"Ini," kata temanku sembari menyerahkan teko itu. Masih dengan senyum di wajahnya, dia lalu menawarkan hal paling gila yang pernah kudengar. Katanya, "Minumlah."
Ketika dia mengatakannya, mataku spontan mencari-cari gelas di atas meja. Tidak ada. Hanya teko hitam itu yang dibawanya sejak kembali dari dalam. Gila! Meskipun memang sudah dari dulu aku tahu temanku ini orangnya nekat dan gila, tapi aku tidak menyangka kalau dia sudah benar-benar menjadi "sangat" gila!
Jawabannya jelas. Aku menolak. Aku menggeleng. Gelenganku cepat, wajahku tegas. Jika sudah begitu, tentu harusnya dia tahu. Tahu kalau itu saatnya dia untuk berhenti bercanda, walaupun aku sendiri ragu jika yang dikatakannya itu sendiri adalah candaan.
"Ya, aku tidak akan memaksamu." Temanku menarik teko itu lebih dekat. "Tapi lihatlah, pada akhirnya semua akan baik-baik saja."
Apa kau tahu bagaimana suara air mendidih saat menyentuh daging dingin yang baru dikeluarkan dari kulkas? Aku sedang mendengarnya. Dalam keterkejutanku, dia membuka mulut dan menuangkan isi teko itu ke dalamnya. Air panas yang beruap terjun bebas dari corong teko. Suaranya itu. Suaranya menghantuiku!
"Ah." Tiba-tiba temanku berhenti dan menyeka mulutnya. "Kau lihat, kan? Aku baik-baik saja. Semua akan baik-baik saja."
Kehangatan yang sempat memancar dari teko itu tidak lagi kurasakan. Angin dingin kembali menyapu tengkuk leher, membuatku menggigil, ngilu. Angin kuat berhembus lagi. Kali ini tidak saja menyapuku, angin tersebut juga menyingkirkan mega yang bergelayutan di atas sana. Malam yang kelam berakhir. Kemilau para bintang memenuhi langit. Gemerlap. Temanku melayang. Senyumnya menyala, tangannya diarahkan kepada bentangan Bima Sakti yang memanjang dari timur ke barat. Apa yang terjadi?!
Dia terbang! Dia pergi meninggalkanku sendiri di teras yang dingin ini. Dia menghilang. Entah akan kembali atau tidak.
***
Temanku itu pulang. Dia tidak menghilang sampai berhari-hari lamanya. Hanya satu jam. Satu jam penantian yang membuat jantungku berdegup kencang. Satu jam yang membuatku merasakan takjub.
Katanya dia terbang menembus sabuk asteroid di antara Mars dan Jupiter hanya untuk bertamu ke Pluto. Dari sana dia melintasi sabuk kuiper, bertolak ke Alpha Centauri, dan terakhir dia membeli oleh-oleh di Betelgeuse. Cinderamata itu kini sudah ada di tanganku. Sebuah bola api kecil. Dan sejujurnya, setelah apa yang dia beri dan ceritakan, aku menyesal. Rasa sesal itu menyala setitik dalam hati. Ingin rasanya aku mengubah jawabanku atas tawarannya. Iya, tidak, iya, tidak, dan iya. Mungkin memang pada akhirnya semua akan baik-baik saja. Dia baik-baik saja. Aku juga akan baik-baik saja. Iya, kan?
Air panas mengalir ke dalam mulutku. Aku benar-benar meminumnya. Suara yang tidak asing kembali pada pendengaranku selagi menenggak segaris air yang jatuh dari teko hitam di tangan. Itu suara "kicau" burung hantu yang tadi sempat membisu. Suara kicau itu beradu dengan suara desis air panas yang mematangkan lidah juga esofagusku. Semakin lama semakin tenggelam. Kerumunan burung hantu yang tidak pernah bisa kulihat keberadaannya itu menjadi semakin ribut. Sangat berisik! Aku berhenti minum dan meletakkan tekonya kembali. Semua langsung diam. Sekarang apa? Aku dapat melihat uap keluar dari mulutku, tapi tidak dengan rasa sakitnya. Tidak ada lidah yang terbakar. Air liurku juga masih dapat turun meluncur melewati kerongkongan tanpa penolakan yang brutal. Aku baik-baik saja. Aku baik-baik saja!
"Ayo!" Temanku mengulurkan tangannya.
Kali ini kusambut uluran tangan itu. Kakiku melayang. Tubuhku melayang. Kami terbang ke angkasa yang gemerlap. Mega ditembus. Bulan dilangkahi. Mataku tertuju pada festival penuh cahaya di tengah konstelasi Taurus dan ke sana lah kami hendak pergi. Untuk menari bersama ketujuh dewi-dewi Pleiades yang memukau. Berputar. Berputar!
***
Malam telah berlalu. Pagi pun datang. Sekumpulan burung hantu berkicau untuk terakhir kalinya sebelum mereka menutup mata.
"Dan larut lah dia ke dalam malam yang pekat. Tidak pernah lagi kembali kecuali ke dalam kegelapan itu sendiri. Padahal kami sudah peringatkan. Sungguh kasihan. Sungguh kasihan."
YOU ARE READING
Teko Panas
Short StoryDia tersenyum. Dia membawakan teko hitam berisikan air panas. Ya, teko panas.