Renjun baru saja memasuki rumah. Tersenyum lega karena pintu rumah tidak terkunci, yang artinya ada seseorang di rumah. Biasanya ketika ia pulang, pintu rumah masih terkunci. Ia memang biasa pulang sedikit lebih awal dibanding saudaranya yang lain. Itu karena dia bersekolah di SMP khusus seni, tidak terlalu banyak pelajaran dan jadwal tidak seberpa padat.
Tapi kali ini ia senang, sekolah sedang digunakan untuk kompetisi dance antar sekolah di Busan. Bagi siswa selain yang mengambil jurusan dance diberi pilihan untuk tetap tinggal atau pulang lebih awal. Renjun yang mengambil seni lukis tentu saja memilih untuk pulang lebih awal. Akan lebih baik berada di rumah sambil menonton TV dibandingkan berada ditengah keramaian semacam itu, hanya akan membuat Renjun tidak nyaman.
Setelah menutup pintu, ia berniat menuju kamar. Namun kemudian ia mengernyit, menyadari bahwa rumahnya begitu sepi. Pintu tidak terkunci, jadi seharusnya ada seseorang di rumah. Tapi Renjun sama sekali tidak melihat ada tanda-tanda kehidupan.
Ia kembali mengingat-ingat. Seharusnya ada Jeno di rumah. Hyungnya itu sudah hampir satu bulan memutuskan untuk berhenti sekolah dengan berbagai paksaan, dan itu semua demi kesehatannya. Seingat Renjun, jadwal kemoterapi Jeno masih 2 hari lagi, tidak mungkin ia sudah pergi ke rumah sakit. Mungkinkah ia sedang tidur?
Langkah yang semula berjalan menuju kamarnya, kini berubah menuju ke kamar Jeno. Mencoba melihat apakah sang kakak benar-benar sedang tertidur seperti perkiraannya atau tidak. Tepat ketika ia sampai di depan pintu kamar Jeno, ia meraih gagang pintu dan membukanya. Kepala Renjun celingukan mencari keberadaan Jeno. Namun nihil, Jeno tidak ada di kamar.
Lalu siapa yang ada di rumah?
Apa ada perampok yang masuk?
Pikiran negatif mulai menghapiri Renjun.
Tepat ketika bulu kuduk Renjun mulai berdiri, suara kran air yang menyala terdengar dari kamar mandi. Rasa takut Renjun semakin besar. Ia mencoba mengumpulkan keberanian dan mulai berjalan pelan menuju ke sumber suara. Badannya kecil, tidak sebesar Haechan, ia bisa dengan mudah diculik oleh orang-orang jahat.
Ia berdiri di depan pintu kamar mandi, tangannya dengan ragu mengetuk pintu tersebut.
"Jeno hyung?"
Hening.
Tidak ada jawaban. Hanya suara air yang terdengar.
"Jeno hyung? Kau di dalam?" tanya Renjun sekali lagi.
Sama, tidak ada jawaban.
Renjun curiga. Perlahan ia membuka pintu kamar mandi.
"Hyung!" pekik Renjun.
Kamar mandi tidak kosong. Ada Jeno disana. Berdiri di depan kaca wastafel dan sedang sibuk membersihkan cairan merah yang mengalir sama derasnya seperti keran air dari hidungnya. Jeno seperti tidak menyadari kehadiran Renjun, ia masih saja sibuk dengan kegiatannya. Renjun berjalan cepat mendekati Jeno dan dielus punggung kurus itu.
Renjun sudah tidak asing dengan pemandangan seperti ini. Kondisi Jeno hampir sama dengan kondisi ibunya dulu, hanya bedanya Jeno lebih parah dari ibunya. Ia pernah melihat mendiang ibu mimisan, tapi tidak sebanyak dan tidak sesering Jeno. Dan disaat seperti inilah ia dituntut untuk tetap kuat dan tetap tenang walaupun hatinya dilanda ketakutan.
Jeno melirik Renjun sejenak dan tersenyum kecil, lalu melanjutkan kegiatannya.
"Apa rasanya sakit, hyung?" tanya Renjun, tangannya masih setia mengelus punggung kurus Jeno.
Jeno menggeleng dan bergumam 'aku baik-baik saja'.
Renjun mengangguk mengerti. Ia tahu hyungnya sedang kesakitan, tapi ia tidak ingin Jeno terlalu banyak bicara dan nanti malah membuatnya semakin sakit.
KAMU SEDANG MEMBACA
WARM HEART
Fiksi PenggemarJangan mengharapkan sebuah romansa indah dalam cerita ini. Karena yang akan kalian temukan hanyalah sebuah cerita dengan alur pasaran, serta kisah tentang cinta dan kasih sayang tulus dari sebuah keluarga. Tidak ada bagian yang membuat jantung kalia...