BAB 10

62 0 0
                                    

Wajah Azkia mendadak masam, dan penyebabnya tidak lain karena Jafar. Azkia kesal karena kejujurannya tentang laki-laki yang ia sukai di anggap lelucon oleh Jafar. Padahal sulit bagi Azkia untuk mempercayakan ceritanya pada orang yang tidak dekat sama sekali. Beberapa kali pertemuan dengan Jafar bukan artinya mereka menjadi teman baik, kan?

"Mba, baju pesanan saya udah selesai?" ucapan Izza mengalihkan Azkia dari cekikikan Jafar yang masih betah bersemayam di wajahnya.

"Kamu pesan baju apa lagi?" Tanya Azkia jengkel

"Kan baju untuk kamu. Kamu udah setuju jadi bridemaid."

Mendadak perasaan Azkia tidak nyaman, "Tapi aku punya langganan sendiri Iz." Kilah Azkia

Jafar mau tidak mau menatap Izza dengan seksama, "Kamu tidak kasih tahu dia hal yang penting?"

Izza menutup mulutnya, namun tidak mampu menutup keterkejutan di wajahnya. Ia lalu menghampiri Azkia dan menangkupkan tangan memohon maaf tanpa bicara.

"Ini sebenarnya ada apa sih? Kalau cuma gara-gara baju yang udah kamu pesan yaudah, nggak usah pakai drama lebay gini."

Izza meringis, berkali-kali membasahi bibirnya. "Masalahnya ..."

Belum lagi habis Izza menjelaskan masalah sebenarnya, pramuniaga itu kembali dengan gaun sederhana bewarna biru muda dengan khimar yang senada. Azkia menatap baju itu sebentar, masih dengan ekspresi biasa, sebelum kembali melihat raut wajah Izza dan Jafar yang sepertinya salah tingkah.

"Tunggu!" Azkia menarik tangan Izza agar menjauh, "jangan bilang aku harus pakai baju itu?"

"Sayangnya, iya Az."

"OH SHIT!!"

"Jangan mengumpat dong Az." Izza menegur.

"Bodo amat! Kenapa kamu nggak bilang?"

"Aku mau bilang, tapi lupa karena keburu senang waktu kamu setuju. Padahal bagian penting dari permintaanku saat itu adalah kamu harus mengenakan pakaian muslimah."

"Aku nggak mau!" Azkia angkat tangan menyerah. "Aku nggak mau pakai baju kayak gitu. Nggak sekarang dan nanti."

Air wajah Izza berubah, matanya tergenang oleh air mata namun ia tahan dengan sekuat tenaga.

"Jangan coba-coba nangis!"

Izza menggeleng seperti anak kecil. Bertekad tidak akan menangis karena dimarahi oleh Azkia, belum lagi terancam batalnya Azkia menjadi bridemaid di hari specialnya. Melihat situasi yang tidak membaik, Jafar menghampiri mereka berdua. Melihat dua sahabat yang sedang berdiam diri dengan salah satunya hamper menangis, membuat Jafar memahami situasi lebih cepat tanpa salah satu dari mereka harus bicara.

"Kamu urus pembayarannya, biar aku yang coba ngomong." Ucap Jafar pelan. Izza mengangguk dan menjauh.

Jafar mengikuti langkah kaki Azkia ke luar butik, dan bersandar di tembok dingin akibat terpapar pendingin ruangan di mall.

"Nggak usah coba-coba bujuk aku. Izza aja nggak mempan, apalagi kamu."

"Aku nggak coba bujuk kamu. Aku Cuma ingin kamu berpikir jernih untuk masalah ini."

Azkia memalingkan wajahnya, tidak ingin menatap laki-laki itu. Jafar mengambil tempat di sebelah Azkia dan ikut menyandarkan tubuhnya ke dinding. Bedanya ia melipat tangannya dan sebelah kakinya ia lipat, ia tapakan ke dinding.

"Pernikahan ini sekali seumur hidup. Menikah bukan sebuah pilihan yang harus diambil ketika seseorang terjepit di antara banyaknya pilihan nikmat hidup. Menikah pelangkap ibadah. Aku bersedia menikahi Izza yang tidak aku kenal sama sekali, demi ibadah. Keyakinan yang begitu besar aku pasrahkan kepada Allah, jika seandainya Izza tidak sesuai dengan apa yang aku inginkan." Jafar diam, mengambil nafas, "siapa tahu kan dia suka ngupil pas sedang makan?" Jafar terkekeh dengan leluconnya sendiri.

Azkia tersenyum tipis sekali, hingga siapapun tidak akan bisa melihat seringai itu ada di bibirnya jika tidak diperhatikan seksama. Izza memang punya kebiasaan jorok, dan Azkia suka jengkel luar biasa dengan sifatnya itu, tapi biarkan itu jadi kejutan bagi Jafar nantinya

Azkia diam, menyimak. Masih tidak paham kemana arah pembicaraan Jafar. Tapi telinganya sudah siap menolak bujukan mengenakan pakaian itu.

"Izza begitu menyukaimu, keluarganya juga sangat menyayangimu. Aku lebih banyak mengetahui tentang dirimu dari Izza dan keluarganya daripada dari dirimu sendiri."

Azkia menoleh, menatap laki-laki itu. Ini pertama kalinya Azkia melihat sosok Jafar dari samping, hidung mancung yang mencuat tinggi dan jenggot tipis yang masih sedikit berantakan, tingginya yang jauh melebihi di atas Azkia, sosok yang jauh, sulit dijangkau. Azkia tidak tahu ia begitu pendek di sebelah Jafar. Begitu kecil. Selama ini ia hanya mengekori mereka dari belakang atau sibuk bermain ponselnya.

"Rencana bridemaid ini bukan semata-mata dari Izza yang ingin melibatkanmu dalam hari bahagianya. Tapi ibu, ayah dan dari keluargaku memandang hubungan dekat kalian, menjadikan kamu special di hati Izza."

Azkia bergetar. Hatinya berkecamuk, bibirnya kelu ingin mengucapkan bantahan atau penolakan yang bisa ia berikan dengan tegas dan kasar, jika memang dibutuhkan. Namun tidak. Rasanya ucapan Jafar telah meremas seluruh inti sari dari kemarahannya yang tadi sempat menggerogotinya.

"Maafkan dia yang telah lupa memberitahukanmu hal paling penting. Ia tahu kamu belum siap mengenakan pakaian itu, karena konsep yang kamu setujui adalah penikahan yang berasaskan pada agama. Namun keluarganya memutuskan semua keputusan ada di tanganmu. Mereka tidak mau memaksa."

"Pikirkan kembali. Bukan demi Izza, bukan demi aku khususnya," Jafar tertawa lebar, "tapi demi harapan indah yang telah keluarga Izza ukir di atas rencana pernikahan putri mereka."

Azkia tidak menjawab sama sekali. Wajahnya sekaku papan, dan ia berpaling dari Jafar.

"Mau kemana?"

Azkia mendelik tajam ke arahnya, "Mau ngetes baju." Sahutnya kesal. Dan ia pergi meninggalkan Jafar yang tersenyum geli di belakangnya. Pundaknya yang sempat kaku ia sandarkan di tembok dan menatap langit-langit mall yang jauh di atasnya. Entah kenapa rasanya ada kepuasaan yang ia rasakan. Kepuasaan yang ia dapatkan dari meyakinkan sosok keras Azkia.

***

Share & Vote Jika Kamu Suka Cerita Ini ^^

Dear Heart, Why Him?Where stories live. Discover now