Chapter 01

66 17 13
                                    

"Song Aera, kau yakin tak mau ikut?"

Aku menoleh pada Minri yang terus-terusan membujukku untuk ikut permainan truth or dare yang ia lakukan bersama siswi-siswi lain.

"Sudah kubilang 'kan? Aku tak mau mengikuti permainan yang mengerikan seperti itu." tolakku untuk kesekian kalinya.

Truth or dare itu mengerikan, kau harus tahu itu. Jika kau memilih truth, bisa saja kau diberi pertanyaan yang mengerikan seperti siapa cinta pertamamu atau kapan kau pertama kali berciuman. Lalu jika kau memilih dare, kau bisa saja diberikan tantangan yang mengerikan. Ya ampun, siapa sih yang menciptakan permainan ini? Aku ingin sekali menemuinya lalu menendangnya.

Namun, kendati aku sudah menolak berulang kali, Minri tidak menyerah untuk mengajakku. "Kumohon ikutlah, dengan begini kau akan akrab dengan teman-teman yang lain. Kau 'kan murid baru di sini."

Aku meringis, ingin menjawab bahwa sekarang kami bukan siswa sekolah dasar lagi yang harus berteman baik dengan teman sekelas namun berakhir bungkam karena Minri terus berbicara.

Jujur saja, aku tak terlalu peduli jika aku di musuhi di sekolah ini, setidaknya aku jadi punya alasan untuk pindah ke Seoul lagi. Sedari awal aku memang tak suka dengan keputusan ibuku bahwa aku harus pindah ke Busan dan hidup mandiri.

Kendati begitu mengingat bagaimana ayah mengancam ku, aku hanya bisa mengadu kuku jemariku karena frustasi.

"Kumohon, hanya sebentar kok."

Menghela napasku, aku akhirnya mengangguk lalu bergabung dengannya.

Aku menatap pensil mekanik yang diputar cukup cepat itu dengan bosan, sama sekali tak berminat mengikuti permainan ini.

Namun, siapa yang menyangka akhirnya giliranku tiba? Tuhan memang sedang tak adil denganku.

Sungguh menyebalkan.

"Aera, truth or dare?" tanya Minri dengan bersemangat.

"Dare." jawabku cepat. Kupikir mereka tak akan memberikan aku dare yang mengerikan, lagipula jika aku memilih truth, aku takut jika mereka menanyakan sesuatu yang bersifat pribadi. Berhubung sejak aku masuk di kelas ini, aku selalu diam dan menghindari pertanyaan yang berhubungan dengan privasi ku.

"Aera, kau lihat laki-laki yang duduk di bawah pohon itu tidak?"

Aku menoleh ke arah yang di tunjuk Sunhee, si gadis berkacamata dengan rambut di kepang. Kemudian aku mengangguk setelah mataku mendapati sesosok laki-laki yang sedang membaca buku di bawah sebuah pohon.

"Nah, pergilah ke sana. Lalu tanyakan padanya 'Sunbae, apakah ada noda di bagian belakang rok ku?'. Ini tantangan untukmu."

"Apa?! Kalian gila ya? Mana mau aku melakukan tantangan memalukan seperti itu!" seruku tak terima.

Sunhee, Minri dan siswi lainnya malah tertawa.

"Oh ayolah, selagi hanya ada dia di sana. Lagipula itu tidak terlalu memalukan kok. Wooyeon bahkan pernah diberikan tantangan untuk menyatakan cinta pada orang yang dia sukai." Sunhee menjelaskan sambil senyam-senyum. Sedangkan yang lain menepuk lengan Wooyeon yang tersipu malu.

Ini gila, seharusnya aku tidak ikut dari awal. Aku juga tak sadar bahwa teman sekelasku punya banyak ide gila karena waktu senggang mereka yang banyak.

Tapi mau bagaimana lagi, aku akan di cap pecundang dan pengecut jika lari dari tantangan ini. Menyebalkan.

Aku berjalan ke arah laki-laki itu sambil bersungut-sungut di dalam hati. Jarak dari kelasku menuju tempatnya memang dekat jadi dengan beberapa detik saja, aku sudah sampai di hadapannya.

Aku meneguk air ludahku sendiri lalu memberanikan diri untuk memanggilnya.

"Sunbae,"

Ia mendongakkan kepalanya dari bukunya lalu menatapku, "Ya? Ada apa?"

Untuk sesaat, aku berpikir bahwa ia cukup tampan. Terlebih bibirnya yang tebal itu. Cukup mempesona menurutku.

Menggelengkan kepalaku, aku segera membalikkan badanku lalu bertanya padanya walau rasanya sangat memalukan. "Apakah ada noda di bagian belakang rokku?!"

Sial, nadaku naik di ujung kalimatku.

Sepersekon, hanya keheningan yang melanda kami. Lalu akhirnya dia bicara, "Tidak ada kok." Dengan nada yang lembut.

"Terima kasih!" Aku langsung berlari ke arah kelasku dan duduk di kursiku dengan napas terengah-engah. Akibat tak biasa berlari.

Ku dengar suara tawa dari siswi yang lain kemudian mereka kembali melanjutkan permainan.

"Astaga, wajahmu merah sekali." komentar Minri ia langsung menghampiri mejaku sedangkan Sunhee sudah larut dalam permainan lagi.

"Tentu saja!" sungutku seraya menerima sebuah botol minum yang selalu dibawa oleh Minri. "Aku menanyakan hal yang sangat memalukan padanya. Aku bahkan tidak berani menunjukkan wajahku di depannya lagi."

Minri tertawa, ia kemudian menepuk-nepuk pundakku. "Sudahlah, ini hanya permainan. Jimin-sunbae pasti lupa dengan kejadian hari ini kok."

"Jadi, namanya Jimin?"

Minri mengangguk, "Park Jimin-sunbae. Dia murid kelas 3. Sebentar lagi dia akan lulus."

Aku menghembuskan napasku lega. Syukurlah jika dia akan segera lulus, itu akan sangat melegakan jadi aku tak perlu takut jika suatu hari nanti ia akan mengatakan pada semua orang bahwa aku sudah menanyakan hal yang sangat memalukan padanya.

Aku menoleh ke arah Jimin yang masih duduk di bawah pohon itu. Wajahnya terlihat serius ketika membaca buku. Di saat bersamaan ia juga terlihat seperti anak kecil karena bibirnya yang sesekali mengerucut.

Lalu, ia celingak-celinguk seperti menyadari bahwa ia sedang di perhatikan oleh seseorang dan saat kami melakukan kontak mata, ia tersenyum hingga matanya menghilang dan melengkung seperti bulan sabit.

Aku tercengang, bagaimana bisa dia menyadari bahwa ada orang yang memperhatikannya dan kenapa ia tersenyum padaku?!

Bukankah Park Jimin itu terlalu aneh?

TBC

Frobly-moblyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang