1

54 11 2
                                    

Hangat kembali merasuk,membalikkan dinginnya malam. Mengubah gelapnya petang menjadi sinar pijar yang menjelma bagai sang petualang. Pagi muncul seperti biasanya.

Menandai semua aktivitas akan segera dimulai. Orang-orang mulai beranjak dari rumah mereka masing-masing, mengalahkan dinginnya udara pagi yang menusuk  kulit. Tanpa rasa ragu melangkahkan kaki untuk bekerja. Tak terkecuali dengan Bastian. Pemuda itu sudah di ladang sejak subuh tadi. Tentu saja sesudah ia menyelesaikan tugas wajibnya untuk berdoa kepada sang pencipta. Pemuda itu bekerja untuk menghidupi keluarganya.

Hal tersebut karena Pak Jo menderita penyakit leukimia, sehingga tidak dapat bekerja lagi. Bu Sadu pun tak dapat berladang karena menderita penyakit asma yang kadang-kadang bisa menyerangnya. Hanya Bastianlah yang bisa diandalkan dikeluarga itu.

"Seharusnya kamu tidak usah terlalu bekerja keras, Nak." Ucap wanita tua itu kepada putra satu-satunya setelah lepas dari kegiatannya di ladang.

"Tapi Bu, memangnya siapa lagi yang bisa diharapkan untuk menghidupi keluarga kita, Bas kasihan melihat Bapak dan Ibu jika harus bekerja di ladang." Bantah anak itu kepada wanita tua yang biasa dipanggil Bu Sadu itu.

Walupun Bastian membanting tulang untuk keluarganya, Ia juga bersekolah di salah satu SMA di desa Pusbau. Bekerja di ladang ia lakoni, setelah dirinya lepas dari kegiatan sekolah. Ia tak pernah mengeluh.

***

Bastian's POV

Hari ini, kembali aku bekerja, untuk membayar uang SPP bulan ini, aku bekerja di ladang dengan memanen sayur-mayur kemudian di jual di pasar. Kami memang keluarga yang miskin, aku tahu itu. Teman-teman sering mengejekku, karena aku berasal dari keluarga yang miskin. Sepatu baru saja 3 tahun sekali aku mendapatkannya. Tapi bagi ku itu adalah penyemangat untuk mencapai kesuksesan.

Satu tahun ini aku membantu Bapak dan Ibu untuk bekerja di ladang. Melihat dan merasakan pekerjaan berat ini, membuatku mulai tertarik dengan dunia pertanian. Aku senang ketika mendapatkan  hasil panen banyak. Aku juga senang ketika menggantikan bapak untuk menanam beberapa sayur di ladang. Kelak aku ingin bercita cita menjadi sarjana pertanian.Keinginan tersebut juga tak lepas dari hasratku untuk membantu Bapak dan Ibu yang sudah renta di ladang. Tapi, cita cita itu hanya kusimpan di dalam hati, mengingat tak ada ongkos untuk ku melanjutkan sekolahku.

Aku baru saja pulang dari ladang. Segala kegiatan hari ini membuatku letih dan ingin beristirahat. Namun, melihat suasana di rumah, kutahan niatku. Pak Dirjo datang ke rumah untuk menagih sewa tanah ladang kami. Kulihat mata Ibu dan Bapak sudah berbinar-binar. Kuusahakan untuk bernegosiasi dengan Pak Dirjo, tapi nihil. Pak Dirjo melarang kami untuk berladang lagi di tanahnya.

Vote and coment

TUMPASTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang