Aku menginginkan sesuatu selama ini. Yang pasti, hal itu bukanlah ketenaran, harta, ataupun sesuatu yang lain. Aku hanya ingin melihat warna. Aku ingin merasakan indahnya sebuah warna yang mereka sebut 'biru' di lautan. Bagaimanakah laut itu terlihat ? Aku tidak tahu. Sebagai seorang anak yang terlahir mengalami disabilitas pada mata, sudah sewajarnya aku tidak bisa melihat apapun. Hitam. Hanya hitam pekat yang kulihat selama hidupku. Ini sangat gelap. Aku selalu membayangkan jika nanti akan ada sepercik cahaya yang menolongku dari kegelapan tersebut. Hingga aku berharap pada kemungkinan bahwa aku bisa melihat dunia ini. Dunia yang penuh akan warna. Salahkah bila aku menginginkannya ?
Ah benar juga, aku belum memperkenalkan diriku. Namaku Surya. Umur 14 tahun. Dan juga sebenarnya itu bukan nama asliku. Aku ditemukan di sebuah gubuk kecil oleh bapak pemilik panti asuhan. Katanya aku ditemukan berada di dalam sebuah kardus dengan disinari cahaya matahari yang lolos dari lindungan atap gubuk yang berlubang tersebut. Karena itulah aku diberi nama Surya yang artinya Matahari. Aku sudah menganggapnya sebagai ayahku sendiri. Ayah mulai melihat ketidaknormalanku dibanding anak panti lainnya ketika aku berumur 4 tahun. Katanya, aku seperti kesulitan dalam mencari arah ketika berjalan dan bola mataku selalu memandang lurus ke depan. Ah bagaimanapun, aku bahagia disini. Seperti apakah rupanya ? Aku ingin tahu. Hanya membayangkan kalau aku bisa melihatnya saja sudah membuatku senang dan tersenyum simpul.
Dan disinilah aku, berada di sebuah bukit dengan ditemani semilir angin yang membelai wajahku. Tak begitu buruk. Ini terasa sangat nyaman. Tapi, sebuah tepukan ringan di bahuku menyadarkanku dari lamunanku. Untuk beberapa saat aku cukul terkejut. Aku merasa bahwa selama ini hanya akulah yang tahu keberadaan tempat ini. Tempat ini adalah tempat yang menjadi kenanganku dengan ibu pemilik panti asuhan. Ketika kecil, aku selalu ditemaninya ke sini. Begitu sering hingga aku hafal jalan ke tempat ini dengan menggunakan tongkat bantu jalanku.
"Halo," ucap seseorang itu. Jika dilihat dari suaranya sepertinya ia juga laki - laki. "Um, hai," aku membalas sapaan pemuda itu. "Apakah kau disini sendirian ?" ucap seseorang yang masih kukenal namanya itu. Lagipula menurutku sudah jelas jelas jika aku sedang disini sedirian. "Ya." ucapku. "Dimana teman - temanmu yang lain ?" Ia bertanya kembali. "Aku tidak mempunyai teman yang bisa kuajak bermain," ucapku "aku buta." Ia terdiam beberapa saat, lalu berkata "Ah kalau begitu sudah diputuskan bahwa aku akan menjadi temanmu." Aku terkejut. Baru kali ini ada seseorang yang mengajakku berteman. Aku sangat bahagia. "Benarkah ? Bahkan dengan orang buta sepertiku ?". Ia menjawab pertanyaanku dengan riang. "Ya tentu saja. Sebenarnya aku tuli sejak lahir." Aku terkejut. "Ah, maaf jika menyinggung perasaanmu." Akupun menundukkan kepalaku 45 derajat. "Tak apa," Ia pun meneruskan "lagipula aku juga sangat ingin berteman denganmu." Aku terseyum simpul. Ini sangat membahagiakan sekali. Rasanya jantungku akan berhenti berdetak saat itu juga. "Namaku Surya, bolehkah aku mengetahui namamu ?" Aku bertanya kepadanya. "Ya tentu saja," ia pun menambahkan, "malah akan aneh jika kita berteman tanpa mengetahui nama masing - masing." Aku terkekeh pelan. "Jika begitu, apa namamu ?" aku bertanya padanya sekali lagi. "Namaku Difka Sanjaya. Kamu bisa memanggilku Jaya." Jaya. Jaya. Aku mencoba menyimpan nama tersebut pada memori otak kecilku. "Hehe kalau gitu salam kenal ya," aku pun mengulurkan tanganku berharap agar ia membalasnya. "Ya Surya, senang berkenalan denganmu." Tiba - tiba aku teringat jika aku harus segera kembali ke panti asuhan. Aku bisa mengetahuinya dengan merasakan angin yang terkena kulitku. Angin tersebut sudah mulai membawa hawa dingin. Dikarenakan tidak bisanya aku dalam melihat, indraku yang lain menjadi tajam. Mungkin. "Ah kalau begitu sampai jumpa," dia melanjutkan kembali, "dan apakah kamu bisa berkomunikasi dalam sandi morse ? Membaca pergerakan mulutmu agak susah. Memang bisa tapi agak susah hehe." Astaga. Aku bahkan hampir lupa jika dia juga penyandang disabilitas sama sepertiku. Aku pun menghampirinya dengan menggunakan tongkat bantu jalanku. Aku memegang lengannya. Akupun mulai mengirimkan sandi morse kepadanya. Kode titik dengan menggunakan sentuhan sekilas. Dan kode strip dengan menggunakan sentuhan keras yang agak lama. Aku menjawab pertanyaan tadi dengan mengatakan bahwa kami bisa berkomunikasi dengan sandi morse. Tampaknya ia menjadi gembira dan mengatakan kepadaku bahwa ia akan bertemu denganku lagi besok di tempat ini dan menawarkanku untuk membantuku pulang. Aku senang mengetahuinya. Namun, aku rasa aku tak perlu untuk diantar pulang. Jadi, akupun mengatakan kepadanya dengan menggunakan sandi morse. Jaya juga setuju. Syukurlah. Setelah saling bertukar salam, kami akhirnya pulang menuju ke tempat tinggal kami masing - masing.31 Oktober 2035, hari itu untuk pertama kalinya aku menemukan sosok seorang teman dalam hidupku. Hidupku seakan mulai berwarna. Hari itu begitu damai. Seperti percikan warna yang memoles gelapnya pandanganku. Dan hari itu adalah langkah pertamaku dalam impianku.
---------------------------------------------------------
Halo. Cuman sekedar info kalo cerita ini rencananya cuman sampai 3 chapter. Mohon dukungannya yah.