"Kemana saja tiga hari ini?" Nuria menghadang suaminya di depan pintu. Tampak sekali semburat sendu dari raut wajahnya. Bola matanya menatap tajam seperti tatapan elang yang kelaparan. Sesekali angin malam menyibakkan jilbab hijaunya. Embus udara menyentuh kelopaknya yang membendung air. Membuatnya berkedip lalu menetes sebulir tirta bening. Sebuah butiran kristal dari seorang wanita yang melampiaskan sebongkah cinta dan kasih sayang. Tetapi, hati yang picik tak akan bisa menerawang keadaan hati orang lain. Bahkan tidak mampu melihat perasaan hatinya sendiri. Apalagi kedua mata yang buta dari segenap cinta, tatapannya hanya bisa menafsirkan kejahatan dari orang lain.
"Suami baru datang bukannya disambut dengan ramah malah marah-marah," kata Bagas ketus. Tak peduli tatapan elang istrinya.
"Jawab pertanyaanku dulu! Dari mana saja?" Tanya Nuria untuk yang kedua kalinya. Ia masih berdiri di depan pintu menghalangi Bagas yang mau masuk rumah.
"Bukan urusanmu!" Bagas mulai kesal lalu masuk ke rumah dengan kasarnya.
"Pasti kamu main ke tempat itu lagi kan? Nongkrong sama orang-orang yang nggak jelas itu? Iya kan, Pak?" Nuria mengikuti Bagas yang menuju kursi kayu lalu mengambil duduk. "Bapak minum lagi kan? Main dadu? Udah berapa kali kubilang, Pak? Bapak itu jangan...."
"Brakk." Bagas menggebrak meja. Omelan Nuria lantas terhenti. "Jangan ceramah terus, Bu! Aku bosan dengernya," ucapnya kemudian.
"Eh, dinasehatin baik-baik malah nggebrak meja. Bapak boleh-boleh saja menyuruhku diam. Tapi inget ya Pak! Meja ini Ibu yang beli dengan hasil keringat sendiri. Apa Bapak pernah ngasih uang selama ini?" Omel Nuria lagi sambil menunjuk-nunjuk meja.
"Oh, jadi begitu ya? Kamu anggap apa jerih payahku selama ini, hah? Di luaran sana aku banting tulang cari uang, Bu!" Nada suara bagas mulai meninggi tidak ingin kalah dengan istrinya.
"Alaah, banting tulang apaan? Paling juga keluyuran. Buktinya pulang nggak bawa apa-apa." Nuria masih mengomel mengedepankan egonya.
"Ibu bisa diem nggak sih? Lama-lama Bapak bisa stres!" Ujar Bagas sembari memegang kepalanya.
"Justru Ibu yang stres, Pak!" Luapan marah dari Nuria tak kunjung sirna.
"Argh, brisik!" Ipunk keluar dari kamarnya yang tidak berpintu. Menatap sinis kedua orangtuanya. Sedari tadi ia janya bersembunyi di balik gorden penuntup kamarnya. Mendengar keributan di rumah gubuknya membuat telinganya panas. Apalagi yang bertengkar adalah orangtuanya.
Bagas dan Nuria sama-sama tidak memedulikan Ipunk, putra semata wayang mereka. Pertengkaran terus berlajut. Ipunk pun juga tidak peduli sama sekali. Masa bodoh. Tak ingin tahu apa yang sedang dipermasalahkan.
"Duarr." Ipunk menutup pintu dengan tendangan kaki. Berjalan tergesa-gesa tanpa menghiraukan tatapan sinis dari orang-orang di sekelilingnya. Semua orang di kampungnya sudah mengklaim keluarga Ipunk sebagai keluarga yang tidak harmonis. Memang begitulah kenyataannya.
Langkah kakinya terhenti di pinggir jalan kota. Derum motor berlalu-lalang meramaikan suasana kota Klaten. Suara mesin memecah kelengangan. Wajahnya sumringah ketika melihat truk dari kejauhan. Ia melangkah ke tengah jalan lalu melambaikan tangan sebagai isyarat agar truk itu berhenti untuk memberikan tumpangan. Usahanya tidak sia-sia, truk itu mau berhenti.
"Numpang ke alun-alun ya, Pak!" Pinta Ipunk pada sopirnya.
"Siap, bro!" Jawab sopir truk yang sudah mengenal Ipunk.
"Hei, Ipunk! Kemana?" Sosok orang lain di dalam bak truk kelihatan samar-samar. Sorot lampu kota yang menyorot sekilas membuat Ipunk mengenali siapa yang ikut numpang bersamanya.
"Punky," sebut Ipunk lalu menjabatkan tangan dan menepuk pundak. "Gue mau ke alun-alun bro! Lo juga mau kesana?" Tanyanya kemudian.
"Ya iya lah. Mau kemana lagi emang? Gue kan nggak punya rumah. Eh, denger-denger katanya orangtua lo pulang ke Klaten ya?"
"Udah gue bilang, Ipunk nggak pernah punya orangtua. Masak iya, ibu yang ngelahirin gue malah nelantarin anaknya. Terus ditinggal sebelas tahun. Brarti kan gue nggak dianggep anaknya dong. Ya sama, gue juga nggak nganggep mereka orangtua, bodo amat," terang Ipunk yang dibalas anggukan Punky. Selanjutnya, Punky menjadi pendengar setia kisah Ipunk pada hari-hari terakhir ini.
Ipunk adalah seorang anak jalanan berumur 13 tahun. Menjalani hidupnya di jalanan sejak umur 6 tahun. 5 tahun sebelumnya ia ditinggal ayah-ibunya ke Jakarta. Akhirnya ia diasuh oleh eyang dan neneknya. Beberapa bulan yang lalu orangtuanya pulang ke Klaten. Tapi seorang Ipunk yang selama 11 tahun tidak mendapatkan kasih-sayang yang penuh dari orangtuanya itu menganggap Bagas dan Nuria sebagai orang lain dalam kehidupannya. Kehadiran mereka seperti dua orang asing bagi Ipunk.
Semenjak mengenal kehidupan di jalanan, Ipunk jarang pulang ke rumah eyangnya. Paling seminggu satu atau dua kali. Ia lebih nyaman berada di jalanan karena kawan-kawan di sana sangat peduli dengan kehidupannya. Di sana pula Ipunk merasakan kasih-sayang yang besar meski tidak tercurahkan oleh orangtuanya. Melainkan rasa sayang tersebut tumbuh perlahan dari keluarga besar BPK (Bocah Punk Klaten).
Seperti anak punk pada umumnya, penampilan Ipunk sangat norak menurut anggapan masyarakat di sekitarnya. Tetapi, ia tak memedulikan segala cibiran dan nyinyiran yang tertuju padanya. Karena orang-orang yang mencibir itu tidak tahu apa arti dan makna filosofis dari gaya mohawk rambutnya, sepatu boat hitamnya, beberapa robekan pada celananya, gelang pada pergelangannya, kalung rantai di lehernya, serta beberapa aksesoris lain yang dipakainya.
Meski bagaimanapun keadaannya, Ipunk masih mengenal Tuhan meski hanya sebatas nama. Tetapi nama-Nya menancap kuat dalam hatinya. Inilah jalan hidupnya yang harus diperjuangkan. Ia juga yakin bahwa Tuhan memiliki rencana yang lebih indah di balik kehidupannya saat ini. Sebuah motto hidupnya: semua akan indah pada waktunya.
"Kalian berdua turun!" Suara bentakan seorang Satpol PP sambil menggebrak-nggebrak bak truk. Polisi yang lainnya tampak menodongkan pistol. Ternyata Satpol PP sedang beroperasi pada tengah malam ini. Mereka mengincar para anak jalanan yang berkeluyuran di kota Klaten. Termasuk Ipunk dan Punky.
_______________
Hai semua? Bagaimana openingnya? Bagus nggak? Sepertinya masih acak-acakkan dan masih kaku ya? Maklum lah, keseringan buat puisi dan ngerjain tugas kampus. Btw, mau dilanjutin nggak ya? Minta krisarnya dong, buat penulisan selanjutnya!
Jangan lupa ya, kisah Ipunk akan diupdate setiap hari Sabtu. Doain semoga istiqomah ya! Doain juga semoga nggak buntu di tengah jalan. Amiin.
YOU ARE READING
Marginal of Street
Teen FictionIpunk, seorang anak jalanan yang tergabung dalam komunitas Marginal of Street, yaitu komunitas anak punkers, mencari jati dirinya di sepanjang jalan. Seiring bergulirnya waktu, orangtuanya memasukkan Ipunk ke pesantren. Tetapi dalam dirinya masih te...