Tears

667 97 23
                                    

a/n: Enjoy!

.

.

.

.

.

Derai tawa tiap anak yang melintas tak ia hiraukan. Dirinya duduk meringkuk di bawah perosotan sendirian, terdiam dengan manik mata yang terpancang pada kolam air mancur di tengah taman. Gerbang di seberang jalan, tempatnya bersekolah kini telah lengang. Tak ada satu pun anak maupun orang tua yang berseliweran di sana.

Lembayung senja mengintip dari sela-sela awan putih di cakrawala, jatuh menimpa permukaan tanah dan membuat bayangan gelap. Angin musim gugur berhembus pelan, membawa hawa dingin menggigit tulang bersamanya.

Jung Jejoong merapatkan tekukan lutut ke dadanya. Kedua mata bulat berembun hangat, hidung memerah. Tubuh mungil itu sesekali bergetar kedinginan, tersapu angin dingin musim gugur tiap jengkal kulit yang terbuka. Bibirnya yang semakin pucat karena kedinginan bergerak pelan. Menggumamkan satu patah kata—sebutan untuk orang yang sangat disayanginya di dunia ini.

Usianya akan menginjak usia enam dalam beberapa bulan ke depan. Anak laki-laki bertubuh mungil dan berambut hitam. Parasnya menggemaskan, namun jarang tersenyum. Pendiam dan kurang suka bergabung dengan teman-teman seusianya di kelas maupun di luar kelas. Jung Jaejoong adalah anak yang paling sulit diajak berbicara oleh orang-orang di sekitarnya.

Dedaunan mulai berguguran, berserakan menutupi jalanan. Pepohonan yang mengitari taman mulai meringgas, menyisakan ranting-ranting kurus tak berdaun. Langit mulai menggelap, jalanan mulai sepi, tetapi Jaejoong masih duduk meringkuk di tempatnya semula. Menanti sang ayah yang tak kunjung datang menjemputnya. Sudah hampir lima jam bocah itu menunggu di taman. Di tengah terpaan cuaca tak bersahabat, di tengah kesendirian tanpa seorang pun berada di sisinya saat ini.

Hampir saja kelopak matanya terjatuh karena lelah, sebuah mobil familier terhenti di bahu jalan. Berhenti dengan decitan nyaring ban bergesek keras dengan aspal hitam. Seorang pria bergegas turun, berlari menghampiri. Kemeja yang ia kenakan basah akan peluh. Rambutnya sedikit berantakan disertai pipi kanan yang tampah memerah tak biasa.

Pria tersebut berulangkali meminta maaf sembari merengkuh tubuh ringkih sang anak dalam pelukan. Membawa Jaejoong dalam dekapan hangat dan kembali masuk ke dalam mobil.

Jaejoong tetap membisu. Tak ada isak tangis meski buraian air mata menganak sungai di pipi. Jung Yunho tak hentinya mengucap kata maaf, mengecup lembut tiap sisi wajah sang anak.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Jaejoong kecil mengigau dalam tidur. Suhu tubuh meningkat dratis melebihi ambang batas normal. Yunho telaten mengganti kain basah di dahi Jaejoong. Dalam hati terus menenangkan diri agar tak panik menghadapi sang anak yang tiba-tiba sakit.

Semua adalah salahnya. Ya, Jung Yunho mengakui. Melupakan bahwa sudah menjadi tugasnya sebagai ayah untuk memerhatikan buah hatiya yang tak beribu kini. Kekasihnya—sudah menjadi mantan kekasih, memaksa untuk bertemu, menemaninya berbelanja seharian ini. Pertemuan itu ternyata tak berujung baik di mana antara dirinya dan sang (mantan) kekasih terlibat pertengkaran hebat tak berdasar. Sebuah tamparan keras di pipi menjadi buah tangan Yunho untuk dibawa pulang.

AMORETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang