Namaku Kirana, aku perempuan, usiaku 16 tahun. Aku tinggal di suatu desa—pinggiran kota.
Saat ini aku duduk dibangku kelas 2 sekolah menengah atas.Sekolahku terletak kurang lebih 2 kilometer dari rumahku. Jika ditempuh dengan berjalan kaki bisa menghabiskan waktu kurang lebih 30 menit.
Ya, apa boleh buat, sekolahku saat ini di adalah satu-satunya sekolah menengah atas yang ada di desaku.
Pemerintah kota sudah menerapkan kebijakan sekolah gratis di desa-desa.
Bahkan, pemerintah kota memberikan beasiswa setiap tahunnya untuk siswa siswi berprestasi agar mereka bisa lanjut bersekolah atau berkuliah di kota secara gratis."Ra, yuk pulang," ajak Lani—teman sebangkuku—seraya menggendong tas dipunggungnya.
Aku mengangguk meng-iyakan ajakannya.Kami pun berjalan keluar kelas dan bergegas meninggalkan sekolah.
Aku dan Lani pulang bersama setiap harinya.
Kami menyusuri jalanan desa yang lenggang dengan sawah-sawah hijau di sekelilingnya.
Ditambah obrolan kami di sepanjang jalan yang membuat perjalanan kami tidak terasa melelahkan.Setelah 15 menit berjalan, tibalah kami di persimpangan jalan. Lani berbelok ke arah kiri, sedangkan aku ke arah kanan.
"Hati-hati ya, Ra," serunya sambil melambaikan tangan."Iyaa, hati-hati, Lan," balasku sembari tersenyum dan balas melambaikan tangan.
Aku kembali menyusuri jalan menuju rumahku. Saat ini, terik matahari berada tepat diatas kepala. Walau dengan jarak yang sangat jauh, sinarnya berhasil membuat sekujur tubuhku berkeringat.
****
"Assalamualaikum," ucapku seraya masuk ke dalam rumah.
"Waalaikumsalam," jawab ibu dan kak Elin kompak.
Aku pun mencium tangan mereka bergantian.Seperti biasa, ibu sedang mengerjakan beberapa pakaian pesanan warga atau hanya sekedar menjahit bagian yang rusak dengan bantuan kak Elin—kakakku.
Ya, ibuku seorang penjahit sekaligus ibu rumah tangga terhebat yang pernah aku kenal.Aku pun bergegas masuk ke kamar.
Ku letakan tas coklatku diatas kursi dipojok kamar, kemudian kuganti seragamku dengan pakaian rumah yang lebih nyaman.Jam dinding kecil dikamarku menunjukan pukul 14.00.
"Bersih-bersih lalu makan dulu ya,Ra," ucap ibu begitu melihatku keluar kamar.
"Iyaa buu," balasku seraya berjalan menuju kamar mandi.
Setelah membersihkan kaki, tangan dan wajahku, aku menuruti perintah ibu untuk makan terlebih dahulu sebelum menjalankan kegiatanku selanjutnya.
Sebenarnya aku belum terlalu lapar, karena di sekolah tadi, aku sudah menghabiskan bekal yang ibu buatkan. Lauknya pun masih tetap sama; potongan tempe dibalur kecap sambal. Perpaduan rasa pedas manis yang sempurna.
Ya, walaupun sederhana, masakan ibu selalu saja menggugah selera.***
Setelah mengisi perut, masih ada waktu setengah jam lagi sebelum aku berangkat untuk kegiatan selanjutnya.
"Pak, sudah makan?" Sapaku ketika tiba di halaman belakang rumah.
"Belum," jawab bapak sekenanya.
Aku mendekati bapak yang sedang memberi makan Ranjo—ayam miliknya—kemudian aku ikut berjongkok disampingnya.
"Ranjo saja sudah kenyang. Masa majikannya belum makan?" Ucapku seraya menggoda bapak.
"Iyaa nanti, mbok," balas bapak balik menggodaku dengan sebutan mbok yang terkesan cerewet.
Aku hanya mendengus pelan kemudian menatap bapak dengan wajah jailnya.
15 menit sudah aku dan bapak memperbincangkan hal-hal yang terkesan kurang penting; seperti membicarakan Kak Elin yang sering marah-marah, pelanggan ibu yang tidak sabaran, Paman Aji yang tercebur di pemancingan, sampai Ranjo yang bertelur dua hari lalu.
"Kalau Kenang bagaimana?" Tanya bapak yang membuat raut wajahku berubah seketika. Pertanyaan ambigu itu berhasil membuat hatiku mencelos.
"Apa kabar dia sekarang?"
Bapak kembali bertanya karena tidak mendapat jawaban apa-apa dariku."Baik-baik saja," jawabku sedikit ragu.
"Mungkin," tambahku sembari menggedikan bahu.Aku pun bergegas masuk ke dalam rumah meninggalkan bapak yang masih tetap pada posisinya.
Pertanyaan bapak tadi terus berputar di kepalaku.
Kenang, bagaimana kabarmu yang sebenarnya?
****
Next bakal mulai muncul tokoh si Kenang itu.
Jangan lupa vomment :))
Thx❣️