09 Say WOW

8 7 0
                                    

Semuanya kembali seperti biasanya, walaupun secara bertahap. Daffa menyadari hal tersebut, apalagi ketika mengetahui semua cerita. Mereka semua masih dalam keadaan sama-sama canggung dan ia memaklumi hal itu. Tapi untuk yang satu ini tidak, memaksa Audre menjadi cover di brosur sekolah? Oh tidak, itu hal tergila yang tidak akan pernah ia lakukan. Jadi yang di lakukan Dela–selaku anak eksrakulikuler photography–mengumpulkan beberapa foto sebelum ia memberikannya pada anak design. Sayangnya ia gagal membujuk Daffa agar bisa memaksa Audre.

Gadis itu melihat sekitar, mencoba meminta bantuan kemudian ia menemukan Audre yang sekarang sedang berjalan kearahnya. Tiba-tiba ia di serang kepanikan, ingin meminta secara langsung tapi jika mentalnya seperti ini Dela tidak akan bisa. Lalu berakhir Audre melewati gadis ini begitu saja, ditatap pun tidak–dilirik juga tidak. Dela menyerah dan memutuskan untuk kembali ke kelas.

Kemudian sebuah ide lewat bagaikan iklan dalam pikiran Dela. Seseorang tiba-tiba muncul dalam benaknya, gadis itu bergesas menuju kelas seseorang yang ada di dalam benaknya, dengan langkah tergesah. Gadis tersebut terlihat seperti kerasukan sesuatu setelah menemukan Devi di dalam kelas. Dela mencari Devi, seorang adik kelas yang menjadi satu-satunya harapan bagi Dela.

"Devi!"

Dengan kepala yang benar-benar masuk ke dalam kelas Devi, gadis tersebut menoleh dan menemukan Dela–kakak kelasnya–menatap Devi seakan menyuruh gadis ini keluar di tambah lagi gerakan tangan Dela yang memanggil Devi. Ia berdiri dan saat Devi benar-benar di luar kelasnya, Dela langsung menarik jauh dari pintu kelas, raut wajah kakak kelasnya itu terlihat serius dan memohon–jika boleh Devi menambahkannya.

"Dek, lo harus bantuin gue," ucap Devi, "please." Wajah memelas itu menatap Devi.

"Bantuin apa dulu, kak? Jualan teh aceh? Ogah," ujar Devi, karena mengingat sesuatu ekspresi wajah gadis ini berubah menjadi tak suka. Ia teringat kasus kakak kelasnya yang di keluarkan karena berjualan benda haram itu. Walaupun di dalam hati kecil Devi mengatakan jika Dela tidak akan melakukan hal tersebut padanya. Gadis ini berfikir seperti itu karena, mereka berdua teman dekat.

Dela melotot ketika mendengar penuturan adik kelasnya yang satu ini. "EH!" pekik Dela, "Gue bukan David, gue juga gak seputus asa itu jual teh aceh ke elo. Dek, cuma mau minat bantuan kecil aja." Mata melas itu masih menatap Devi. "Bilangin sama Audre buat ikut ngumpul bareng anak photography besok, ya?"

"Buat apa?" Kening Devi berkerut, seingat gadis ini. Audre mengikuti ekstrakulikuler fustal.

"Suruh aja dateng, ya, ya?"

Kalau gitu doakan Devi berhasil. "Yaudah saya usahin, kak."

***

Devi berdiri bawah pohon rindang di dekat gerbang sekolah sambil menunggu Audre, dan menyusun kata agar pemuda itu mau datang besok sepulang sekolah untuk menemui Dela. Hanya satu yang ada di dalam pikiran gadis ini, kenapa Dela tidak meminta langsung pada Audre, atau setidaknya meminta bantuan pada Daffa. Ketika pertanyaan itu datang, saat itu juga ia sudah melihat Dela sudah berada di lantai satu dan mengacuhkan teriakannya. Devi mengiklaskan jika ia tidak mendapatkan alasan untuk melakukan hal ini.

Kaki kanan Devi mengetuk di atas tanah, lalu menggosoknya seperti wiper kaca mobil sehingga debu-debu berterbangan dan gadis itu menghentikan aktifitas penghasil debunya. Ia menoleh ke arah gerbang sekolah yang masih ramai dengan siswa-siswa yang keluar menggunakan motor dan berjalan kaki–kemudian mereka diam di depan sekolah seperti Devi. Tapi tak lama ia menemukan Audre keluar dari kerumanan tersebut kemudian pemuda tersebut menghentikan motor tepat didepannya, lalu menoleh pada Devi.

"Dev," ujar Audre, "let's having hang out."

Devi tidak punya jawaban lain selain tidak.

Kening Devi berkerut ketika mereka berhenti didepan sebuah toko helm, ketika Audre mematikan mesin motor ia langsung turun dan selanjutnya Audre menurunkan strandar stelah itu ia ikut turun dari motor juga tak lupa melepaskan helm. Devi terdiam ditempat dan melihat kesekeling toko ini, lokasinya tepat dipinggir jalan.

"Dev."

Teguran dari Audre berhasil menarik Devi untuk menatap pemuda tersebut–yang sudah ada di depannya sekarang. Audre menatap gadis ini dengan wajah bingung. "Ayo."

Devi menganggukkan kepala, kemudian berjalan memasuki toko helm itu sambil menyamakan langkah kakinya dengan Audre. Ia bisa melihat berbagai helm dengan model dan merk yang berbeda-beda. "Mau nyari helm buat siapa, kak?"

"Buat gue sendiri."

Devi ber-oh riang sambil tetap melihat-lihat.

"Ada yang bisa saya bantu, mas, mbak?"

Mereka berdua sama-sama menoleh kearah penjaga toko, dan Devi tersenyum sebelum memberikan jawabannya. "Bukan saya yang nyari helm, ini kakak saya yang mau nyari."

"Oh, kalau gitu silakang dilihat-lihat dulu." Dan kembali mereka mengangguk secara bersamaan.

Devi sibuk melihat macam-macam helm yang ada di sini, sedangkan Audre sibuk mengikuti gadis ini dari belakang. "Ada saran lo?"

"Yang itu bagus kak, polos warna item." Devi menujuk sebuah helm.

Audre mengikuti arah pandang Devi, dan dapat melihat helm hitam yang di sebut oleh gadis. Ia melangkah mendekati etalase sebelum akhirnya meraih benda pelindung kepala tersebut, melihat setiap sisi helm. Kemudian ia memakaikannya pada Devi, terlihat sekali jika Audre seperti mencoba menilai helm itu. Devi hanya diam, setelah ia tersadar ketika kaca dari benda tersebut di naik dan turunkan.

"Kenapa di pakein ke saya, sih," protes Devi lalu mencoba melepaskan helm, tapi tangan Audre menahan agar tidak lepas dari kepala gadis ini.

"Gue mau liat gimana kondisi helmnya."

"Tapi kan bisa nyobain sendiri," ujar Devi yang masih mengandung protesan, "dibelakang kakak loh, ada kaca." Audre menoleh pada balik pudak dan menemukan pantulan dirinya di cermin, sejak kapan benda itu ada?

"Gue gak ngeliat kalau ada kaca," jawab Audre kemudian ia pergi mendekati penjaga toko ini, "berapa yang itu, bang?" Ia juga menujuk helm yang sudah di lepaskan oleh Devi.

"Dua ratus dua lima, mas."

"Dua ratus."

"Wah, gak bisa mas," kata penjaga toko itu, "dua ratus lima belas, mas."

"Dua ratus sepuluh kalau gitu."

"Aduh, kalau segitu juga masih gak bisa, mas."

"Yaudah dua ratus lima belas," putus Audre, ia mengeluarkan dompet yang ada di kantong celana belakangnya mengeluarkan beberapa lembar seratus ribu dengan dua puluh ribu, "gak usah dibukus, bang."

Setelah mendapatkan kembaliannya Audre langsung keluar dan diikuti Devi yang membawa helm yang baru saja pemuda ini beli. Ia naik ke atas motor, kemudian menghididupkan mesin motor. Sedangkan Devi hanya melongo kebingungan ditempat.

"Kakak, gak minta kotaknya gitu?"

"Buat apa? Orang mau langsung di pake, buat apa lagi di kotakin?" ucap Audre kemudian menoleh pada Devi, "buruan di pake, lo gak mau pulang?"

Jangan ada yang memberi tahu Audre jika Devi sedang mengupat.

BANDMATE✅ [ Day6]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang