Dari balik jendela, di kelas seberang, kau melihatnya. Bunga yang masih kuncup. Merah muda keemasan selembut gradasi langit senja. Angin menerobos sela-sela jendela, membawa serta aromanya. Manis dan lembut, mengingatkanmu pada permen kapas.
Kau, Mark Lee, membayangkan akan seindah apa dia saat mekar di musim semi nanti.
***
Dari balik jendela, di kelas seberang, kau melihatnya. Cahaya matahari jatuh terurai di sekitarnya, menghujani kilau keemasan serupa jutaan serbuk peri. Kau pikir hanya delusi. Tetapi kali ini dia menangkap basah dirimu. Dua entitas melebur dalam satu pandang. Detik mati di tempat sesaat.
Dia berkedip dan detik kembali berdenyut. Kau coba lempar kail berumpan senyum perkenalan. Dia menyambar dengan senyum yang sama.
Salju di pelataran mulai mencair.
***
Kau melihatnya setiap hari dari balik kaca bening jendela. Tak apa, karena senyumnya bisa menembus sampai ke balik tulang rusuk, menyebar hangat di sepanjang pembuluh.
***
Harum serbuk sari dimana-mana. Serangga-serangga tertawa gembira, melompat berkejaran dari satu nektar ke nektar yang lain. Ah, musim semi.
Kau dapat mendengar derik rantai dipergelangan tangan, bergoyang-goyang ditarik dari sumbu satunya, dan habis menggantung di pergelangan tangan yang lebih ramping; tangan yang menyuapkan bola-bola jingga ke dalam mulut ring. Hentakan sepatunya menabuh lapangan penuh irama. Menebar bau matahari dalam tiap gerakan.
Dia, bunga yang tak kau ketahui namanya, memekar perlahan disirami peluh.
Sejenak kau lupa orasi demonstran dalam perut.
***
Sepatu itu membaur di antara lalu lalang pejalan kaki. Kau mengenalinya; hapal derit dan ketukan iramanya. Lantas kaki-kakimu bergerak sendiri, mengejar angin yang merangkul aromanya. Di ujung tikungan, jarak tinggal lima langkah, kau mengerem karena dia mengerem. Menggantung harap pada sayap kupu-kupu yang berlalu, agar dia menengok dan menemukanmu di situ.
Sayang, sayap-sayapnya patah menabrak punggung gagah. Dia menyambut rengkuhan lengan itu dengan senyum yang membuat minder bunga-bunga lain.
Kau mengedik, berdalih salah mengenali orang, lantas berbalik dan kembali menghentak-hentak ringan trotoar.
***
Dari balik jendela, di kelas seberang, kau melihatnya. Bunga yang kini telah mekar sempurna, menebar semerbak nektar, sentra bagi para kumbang. Begitu cantik, begitu memesona, begitu wangi.
Terpikirkan olehmu untuk memetik dan menyimpannya dalam vas bening di rumah.
***
Kau ingat terlalu sering mengonsumsi kafein akhir-akhir ini dan menyalahkannya atas delusi berlebihan yang tidak dapat dihentikan. Ketika pagi ini tak ada sekat berupa kaca bening yang menghalangi pandanganmu, ketika dia, dengan segala keindahan musim semi, berdiri di depanmu.
Suaranya memenuhi telinga dan kepalamu. Dia mengerjap dan kau sadar ini nyata.
Dia menyodorkan amplop putih dan ada logo dan stempel rumah sakit di bagian depan. Nama dalam surat itu adalah sepupunya, seorang siswa di kelasmu, si Lee populer-serba-bisa Jeno, yang beberapa hari lalu lengannya ia rangkul.
Malamnya, matamu sama sekali enggan memejam. Senyumnya, terutama jika dilihat dari dekat, lebih berbahaya dari bercangkir-cangkir kafein, kau menyimpulkan.
Musim semi kali ini terasa lebih panjang dari tahun-tahun kemarin.
Tamat.
KAMU SEDANG MEMBACA
One Fine Spring Day
FanfictionMark Lee mengenalinya sebagai bunga musim semi yang cantik. *** [ps. remake dari fanfiksi saya sendiri dengan judul yang sama]