Babak Awal

32 7 2
                                    

Fase jatuh cinta tidak pernah jauh-jauh dari bertemu-berkenalan-suka-nembak dan berujung jadian. Itu bagi yang beruntung. Untuk para kaum yang kurang beruntung, biasanya berawal dari pandangan pertama-suka-memendam rasa lalu berujung patah hati.

Mengungkapkan rasa tidak semudah meniup potongan bekas rautan pensil. Biasanya dibutuhkan tekad bulat, nekad dan berani. Itu poin penting. Orang yang melakukan hal ini perlu diapresiasi. Harus diingat lagi bahwa tidak semua orang bisa seperti dirinya, termasuk saya sendiri. Iya, saya yang sedang mengetik ini.

Saya adalah salah satu dari sekian banyak orang jatuh cinta yang memutuskan untuk memendam rasa saja dibandingkan dengan mengungkapkannya. Ya, saya belum berani, juga belum siap mendengar jawabannya. Itu jawaban saya dulu, ketika saya masih berada di bangku kelas satu sekolah menengah pertama saat teman saya bertanya mengapa saya tidak bilang saja ke dia.

Pertemuan saya dengan dia tidak dramatis seperti Juliet yang bertemu dengan Romeo-nya, Bapak Habibi bertemu dengan Ibu Ainun atau kisah-kisah romansa yang digandrungi kisah cintanya oleh para remaja. Pertemuan saya dengan dia sangat sederhana, bahkan saya menganggapnya aneh. Ketika itu, saya sedang membuang bungkus roti yang telah saya makan—di tempat sampah. Kemudian, seperti ada dorongan kepada saya untuk mendongak dari tempat sampah itu, ke arah depan saya, yang hasilnya saya temukan makhluk berjenis kelamin laki-laki tengah berjalan dengan wajahnya yang datar dan melewati saya begitu saja. Mata saya tertumbuk pada matanya. Saat itu saya berpikir, laki-laki itu mirip dengan seseorang yang pernah saya kenal dulu. Saya berpikir keras sembari berjalan menuju kelas, dengan mata yang masih memandang ke luar kelas, berharap dia datang lagi ke hadapan saya.

Dan saat ini saya sedang berpikir, kenapa pertemuan saya dengan dia harus di depan tempat sampah? Mengapa tidak di tempat yang lebih berkesan lagi, seperti kantin, mushola atau minimal depan gerbang. Tapi saya bersyukur, saya dan dia tidak dipertemukan di depan kuburan.

Begitulah permulaan pertemuan saya dengan dia.

Mungkin kalian berpikir, mengapa sejak tadi kalian menemukan kata dia dengan bold, padahal seharusnya di-italic saja? Ya, akan saya jelaskan. Dia adalah orang yang cukup penting dalam hidup saya. Jadi, bagian penting pada buku biasanya ditandai dengan bold kan? Sementara italic biasanya menandai kata asing, dan saya tidak ingin dia menjadi sosok asing di hidup saya seperti orang tak saling mengenal.    

---

Time to Remember.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang