Gesekan antara Barat dan Islam
Secara etimologis, orientalisme berasal dari kata "Orient" dan "Isme". Orient artinya Timur dan isme artinya paham. Menurut kamus Webster, orientalisme adalah "study of Eastern culture", sedangkan orang yang concern dengan studi ketimuran dinamakan dengan orientalis (a student of Eastern culture).
Dalam pengertian termiologis secara apik dan eleboratis dikemukakan sebagai kaijian yang dilakukan oleh orang Barat terhadap Timur Islam, yang berkaitan dengan bahasa, kesusastraan, sejarah, kepercayaan-kepercayaan, perundang-undangan, serta peradabanya dalam bentuk yang umum. Namun, ada juga yang melihat orientalis tidak lebih sebagai gerakan intelektual yang berkecimpung dalam penelitian ilmu, tradisi, perdaban, dan kebudayaan Islam dengan tujuan menyelami rahasia, kekuatan, sifat, watak, pemikiran, tentang kemajuan masyarakat Islam.
Tidak ada keterangan yang jelas, kapan dan siapa sebenarnya orang Barat yang pertama kali mempelajari Islam. Para pakar berbeda pendapat, ada yang mengatakan bahwa hal itu terjadi pada waktu perang Mu'tah (tahun 8 Hijriah) lalu perang Tabuk (tahun 9 Hijriah), dimana terjadi kontak pertama kali antara orang Romawi dengan orang Muslim. Sementara para pakar lain berpedapat bahwa hal itu terjadi ketika pecah perang antara kaum Muslimin dengan Nasrani di Andalus (Spanyol), terutama setelah raja Alphonse VI menguasai Toledo di tahun 488 H/1085 M. Ada juga yang berpendapat bahwa hal itu terjadi ketika orang-orang Barat terdesak dengan ekspansi Islam, terutama setelah jatuhnya Istanbul tahun 857 H/1453 M ke tangan kaum Muslimin di mana kemudian mereka masuk ke Wina. Mereka merasa perlu melakukan hal ini demi eksistensi kaum Nasrani, namun beberapa pendapat menyatakan tidak demikian.
Memang sejak pertama kali muncul, agama Islam merupakan problem bagi Eropa-Kristen. Orang-orang beriman adalah musuh menurut mereka, pada abad VII dan VIII, pasukan yang berperang atas nama penguasa Islam meluas dan masuk ke jantung dunia Kristen. Mereka menduduki provinsi-provinsi kerajaan Bizantium di Syiria, Tanah Suci Mesir, dan terus meluas ke arah barat memasuki Afrika Selatan, Spanyol, dan Sisilia. Penaklukan ini bukan semata-mata bersifat militer, melainkan juga diikuti pula dengan konversi agama (Islam).
Gesekan ini bukan hanya dalam segi ekspansi yang menyebabkan peperangan saja, tetapi ada hubungan perdagangan yang melewati laut tengah, pertukaran ide-ide, terlebih di abad XI dan XII. Maka tidak jarang karya-karya dari Timur/Barat mengalami pergerakan di segala bidang, seperti kedokteran, filsafat, dan ilmu pengetahuan.
Dengan adanya dugaan sejarah, bisa dipastikan memang ada kontak antara Barat dan Islam, termasuk dalam filsafat Islam yang tidak dipungkiri banyak orang-orang Barat juga mendalaminya.Sekalipun memang gelombang Hellenisme telah membawa kepada penerjemahan karya-karya Yunani kuna ke dalam bahasa Arab. Meskipun nampaknya telah dirintis sejak zaman Bani Umayyah di Damaskus - dan mencapai puncak kejayaannya di masa khalifah al Ma'mun di Baghdad yang menganut paham Mu'tazilah, sehingga dia mendirikan Bait al Hikmah (Wisma Kearifan) sebagai pusat kegiatan ilmiah telah menciptakan suasanya subur di kalangan kaum Muslimin dalam berkembangnya pemikiran spekulatif. Maka, dengan perjalanan panjang seperti menerjemahkan karya-karya Aristitoteles, Plato, Socrates, Neoplatonis dan sampai kaum Muslimin sendiri memberikan watak keislaman dalam filsafat sehingga mereka melahirkan disiplin ilmu yang disebut al Falasafah.
Ada hal yang menarik dari penerjemah- penerjemah pada saat itu, diantaranya adalah Hunayn bin Ishaq (Wafat 873 M), seorang Kristen yang pandai berbahasa Arab dan Yunani (pernah berkunjung ke Yunani). Ia terjemahkan 20 buku Galen ke dalam bahasa Syiria dan 14 buku lain ke dalam bahasa Arab, menurut keterangan Hunayn memiliki 9 pembantu dan murid dalam kegiatan ini. Kemudian Sabit bin Qura (seorang penyembah bintang), Qusta bin Luqa (seorang Kristen), dan Abu Bisr Matta bin Yunus (seorang Kristen wafat 939 M).
Masif di abad 18 M
Tentu akan menjadi sebuah perdebatan tentang bersinggungan Barat dan Islam, terlebih dalam bidang Filsafat. Tapi, agaknya sangat terasa sejak terjadinya gelombang Hellenisme dan abad pertengahan yang dianggap sebagai masa kegelapan karena dikuasai oleh gereja, ini menandakan kemunduran Barat. Sementara itu dikubu Islam sedang gencar-gencarnya melakukan civitas akademik dengan menerjemahkan karya-karya kuno Yunani yang diwarisi Socretes, Aristoteles, dan Plato. Namun, semenjak renaisans datang dengan segala perubahannya. Barat seakan kembali bangkit bahkan mengejutkan Islam dengan perkembangan mereka yang pesat, dan ini juga yang menarik mereka untuk massif mempelajari Islam.
Hal ini menunjukan bahwa orientalis- Barat memang sudah bersinggungan dengan awal filsafat dalam Islam. Dan ini mengalami perkembangan yang pesat, tentu karena ada perbedaan dalam segi filsafat itu sendiri (antara Barat dan Islam). Seperti, dalam filsafat mistis, bahkan mereka tertarik untuk memverifikasi kebenaranya sekalipun dianggap oleh John Naisbitt sebagai "paradoks global" dan ungkapan para filosof dan sosiolog adalah seharusnya yang berbau mistis/supranatural sudah pupus dari bumi manusia ini. Bahkan William James-Psikology Jerman penganut empirisme-radikal bersusah payah memahami dan memverifikasi pengalaman relegius demi membuktikan sifat fitri spritualitas manusia ini.
Dengan demikian sudah di pastikan bahwa orientalis dan filsafat Islam terus bergesekan, bahkan mereka menguasai dengan tujuan yang berbeda-beda, baik hanya sebagai pemuas hasrat intelektual atau dijadikan alat untuk menguasai (menyerang) Islam itu sendiri. Memang, tidak selamanya para orientalis buruk, ada diantara mereka yang berkontribusi dalam hal ini, dan kita harus bijak dalam bersikap sehingga mampu memaknai antara kedua fenomena tersebut.
Daftar Pustaka:
Khaldun Rendra, Telaah Historis Perkembangan Orientalis Abad XVI-XX, Jurnal Ilmiah: IAIN Walisongo Semarang.
Ali Ya'qub Mustafa, Kritik Hadis, Cetakan 7 Juli 2015, Pustaka Firdaus: Pejaten Barat.
Editor: Madjid Nurkholish, Khazanah Intelektual Islam, 1994, Yayasan Obor Indonesia: Bulan bintang.
Nasution Harun, Falsafat dan Mistisme dalam islam, Cetakan 12 oktober 2012, Yayasan Obor Indonesia: Bulan bintang.
Bagir Haidar, Epistimologi Tasawuf, PT Mizan pustaka: Bandung.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ulasan singkat Orientalis dan Filsafat Islam
SaggisticaOrientalis sering dipandang sebagai kelompok yang terus menerus menyerang Islam. Padahal dia sendiri tidak selalu hitam - putih, ada sisi lain dari Orientalis yg positif. Karena memandang gerakan ini dari segala penjuru akan lebih memahami Orientali...