KAU YANG HILANG

692 83 29
                                    


Disclaimer Masashi Kishimoto
Special for Naruhina Dark Days 2018
#Au #Time Travel

Sosok pucat tercenung pada sudut jendela. Pekatnya kelam membalut lara dan kerinduan. Setengah bagian jendela menyediakan celah sempit. Tajamnya bayu menyeruak pelan membentur helai biru gelap panjang. Perempuan itu berkedip beberapa kali berupaya menghalau anak-anak rambut yang usil menyinggung bola matanya. Berharap tak ada tetesan kelenjar air mata yang kembali menerpa permukaan bumi. Namun isak masih setia menanti perannya pada pahatan wajah sang wanita. Paras yang susah payah mengabaikan segala hasutan tangis.

Teriakan guntur yang disertai kilatan cahaya hasil pelepasan listrik alam tak mengalihkan benak sang gadis dari alam lamunan. Ruangan luas penuh bangku pembelajaran terasa mencekam pada pertengahan malam. Jangankan ketakutan, berisik makhluk-makhluk tak kasat mata yang tengah bersenda gurau tak mengusik kepedihan Hinata. Bukan, Hinata bukan manusia dengan keistimewaan indra keenam. Hinata hanya mahasiswi kimia biasa yang menggandrungi penelitian. Mustahil seorang diri dalam bangunan menjulang jurusan teknik mesin tanpa gangguan setan yang terkutuk. Apalagi ruang kelas tempat Hinata berpijak bukanlah tempatnya biasa menimba ilmu. Para dunia lain semakin bersorak girang. Mereka asyik berparodi melempar salam perkenalan. Namun sayang mereka terabaikan. Satu per satu melayang lunglai menjauhi manusia yang terdiam tanpa hasutan. Agaknya mereka diwajibkan mempertinggi frekuensi seminar mengasah potensi diri demi jeritan manusia.

Hinata mendesah panjang.
Bayangan tampan berkelebat dalam layar otaknya. Pria misterius dengan segudang tawa. Kumpulan helai pirang menjuntai hingga perpotongan leher dengan bahu. Sejuknya permata seluas samudera bagai ingin menyelaminya. Satu tahun sudah mereka menjalin asmara. Mengikuti narasi kehidupan penuh makna. Bangunan bobrok tak bertuan menjadi saksi bisu ketika pertama kali mereka bersua dalam rasa.

Hinata tak pernah amnesia bagaimana telapak lebar itu mengirim kehangatan pada raganya yang menggigil kedinginan.

Serbuan pasukan air langit mampu membuat para penghuni bumi berlindung dari kejarannya. Begitu pun Hinata yang tak pikir panjang menepikan sepeda kayuhnya pada bangunan kusam tak bertuan. Hinata sadar dia tak seorang diri. Beberapa jenis lain berupaya menghampiri dan meringis pedih. Sapaan tak wajar untuk menyambut seorang manusia. Hinata tak terhasut. Tubuhnya setia bergeming dan mengabaikan lelucon tak kasat mata. Duduk termenung dan bersandar pada pilar rapuh, menurunkan kepekaannya. Bahwa ada sesosok tampan yang tak melepas lirikan dari sang jelita. Pria buka jenis lain dunia. Pria ini manusia yang belum mengalami proses meninggal dunia.

Hinata tersentak saat mendadak tawa kalem seorang pria menyapa gendang telinganya. Parasnya berpaling. Sepasang lavendel membelalak. Bukan karena penampakan pahatan wajah abstrak seperti sebelumnya, melainkan wujud manusia dalam kawasan penuh penghuni tak kasat mata. Wujud yang terlampau tampan untuk berpijak pada bagian selatan kota konoha yang terabaikan.

Perkenalan singkat. Jatuh hati kilat. Pernyataan yang cepat. Persemaian benih akibat pelukan hangat jaket tebal oranye pada tubuh Hinata. Kala itu sang pria tetap semringah meskipun hanya berbalut bahan kaos tipis dalam suhu udara yang kian merosot tajam. Kurang dari sepekan jiwa mereka menemukan belahan.

Sekarang Hinata bahagia. Gadis yang kesehariannya akrab dengan kesendirian, kini menemui mentari. Hinata, gadis pendiam yang menjelma serupa benalu jika mencium aroma kertas. Gadis ini lebih tertarik pada lamunan kosong dalam bangunan tua. Meskipun terkadang godaan tanpa fisik sedikit menghancurkan konsentrasi mengunyah buku. Namun histeria kaum hawa saat menyaksikan mangsanya lebih mengusik dari pada itu. Sebab itu Hinata memilih seorang diri berkawan sepi. Kini semua berbeda ketika seorang adam bertekat keras menyelami hati Hinata. Setiap detik hanya mekar bunga yang dirasa.

KAU YANG HILANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang