Satu

5.9K 900 579
                                    



"Gavin setan! Gue bunuh, lo!"

Gavin yang tengah asyik bermain game, refleks melempar ponselnya dan melompat turun dari tempat tidur. Cepat-cepat ia berlari ke arah pintu. Sayang, belum sempat niatnya mengunci pintu kamar tercapai, sesosok makhluk yang menyerupai dewa kematian sudah menerjang masuk lebih dulu.

"Wow... wow... santai, Bray..." Gavin mundur dengan kedua tangan terangkat di depan dada.

Tapi mana bisa Abrar tenang. Ia tetap melangkah maju dengan hasrat ingin menguliti temannya. "Lo ngerjain gue, setan!"

Gavin sulit menahan diri untuk tak tertawa. Tapi, ketika ia melihat tangan Abrar terulur dengan gestur ingin mencekik, spontan ia melompat ke atas tempat tidur dan menyeberangi ruangan. Berlindung di sisi lain ranjang dengan bantal sebagai tameng. "Hei, nggak boleh marah!" serunya. "Kan April Mop. Lo sendiri yang bilang."

Abrar menggeram, tapi tetap menurunkan tangannya. Sial! Kemarin ia memang bilang seperti itu pada Gavin dan tentu saja tidak mungkin ia menjilat ludah sendiri. Meski begitu, matanya masih memancarkan aura membunuh.

"Lo kenapa ngerjain gue, monyet?"

"Mana ada?" bantah Gavin. "Lo minta gue ngasih surat itu ke Vika dan udah gue kasih."

"Tapi kan bukan Vika yang itu!" gemas Abrar.

"Lo nggak bilang Vika yang mana," bela Gavin. "Mana gue tahu."

"Lo tahu," bantah Abrar. "Tapi emang sengaja ngerjain gue. Kemarin gue bilang Pika. Dan lo tahu banget siapa yang gue panggil kayak gitu."

Gavin tertawa. Sekarang ia tidak bisa mengelak lagi kalau memang sengaja mengerjai Abrar. Pika yang dimaksud Abrar adalah Ervika, teman main Abrar sejak kecil, bukan Savika si anak baru. Abrar menyebutnya Pika, lengkapnya Pikachu, karena menurutnya Ervika tidak jauh berbeda dari ikon Pokemon itu. Kelihatan manis, tapi bisa mengeluarkan petir.

Alasan Abrar ingin mengerjai Ervika karena sejak dulu, cewek itu suka sekali mem-bully Abrar. Waktu kecil dulu tubuh Abrar memang kalah besar dan cenderung penakut, jadi tak pernah bisa melawan Ervika. Tapi, meski sekarang Abrar sudah tumbuh lebih besar dari Ervika, tetap saja ia tidak bisa melawan cewek bermuka malaikat itu. Malaikat bertanduk kalau kata Abrar.

"Lo pikir bisa ngerjain gue heh, anak kecil?" Sebuah suara dari dasar neraka menghampiri telinga Abrar, dibarengi dengan cubitan maut di pipi kirinya.

Abrar meringis, segera menepis jemari lentik namun mematikan itu seraya bergeser. Cukup kaget melihat kemunculan tiba-tiba Ervika. Tidak ada bunyi langkah kaki, benar-benar seperti hantu. "Kok lo bisa di sini, sih?" sungutnya.

"Suka-suka gue lah," sahut cewek cantik berkulit putih itu sambil bersedekap.

Sebuah pemikiran tiba-tiba menghantam kepala Abrar. "Jangan bilang kalian sekongkol ngerjain gue!"

Gavin dan Ervika bertatapan, kemudian menyeringai. Dan itu sudah cukup menjawab pertanyaan Abrar.

***

"Lo beneran dapat surat cinta dari Abrar?" Tanpa permisi, Salma membuka pintu dan mengajukan pertanyaan penting yang sedari tadi mengganggunya. Membuat si empunya kamar sedikit berjingkat karena kaget.

Setelah sembuh dari keterkejutannya, Savika hanya menatap sepupunya tanpa menjawab. Sebenarnya ia tak begitu mendengar apa yang dikatakan Salma karena tertutupi rasa kaget.

"Lo beneran dapat surat cinta dari Abrar?" Tak sabar, Salma kembali bertanya sembari memasuki kamar Savika.

Kamar sementara lebih tepatnya. Selama rumahnya dalam tahap renovasi, Savika tinggal sementara di rumah paman dan bibinya. Agar tak mengganggu pelajaran, begitu kata mereka. Mama Salma yang mengusulkan, dan tentu beliau menyambut baik kedatangan Savika di rumah ini.

Tapi tidak dengan dengan Salma. Cewek cantik berambut ikal itu sejak dulu selalu menganggap Savika saingan. Sejak SD, Savika selalu mendapat nilai lebih baik darinya dan itu membuat mamanya kerap membanding-bandingkannya dengan si sepupu. Kamu mestinya contoh Vika, rajin belajar, nggak main aja kerjanya. Itu yang kerap diucapkan ibunya dulu. Dan Salma sangat bersyukur ketika ayah Savika dipindah kerja ke luar kota ketika mereka duduk di kelas lima yang tentunya mengharuskan sepupunya pindah juga.

Dan ketika beberapa bulan lalu mereka kembali, apalagi Savika dititipkan sementara di rumahnya, ketenteraman hidup Salma seolah terancam punah. Savika tetap sepandai dulu dan tetap menjadi anak kebanggaan mama Salma. Tetapi, dari segi penampilan, Salma bolehlah berbangga hati. Bagaimanapun, ia termasuk dalam deretan cewek tercantik dan paling diincar di sekolah. Jauhlah kalau dibandingkan Savika yang bisa dibilang sangat sederhana dan biasa-biasa saja.

Tapi itu sebelum Salma mendengar kabar jika Savika mendapat surat cinta dari Abrar.

"Uhm... iya." Savika akhirnya menjawab, sambil menduga-duga kenapa hal itu seolah begitu penting bagi kakak sepupunya.

"Gimana bisa?" Salma nyaris berteriak. Sementara Savika hanya mengerjap bingung.

"Gimana ceritanya dia bisa ngasih lo surat cinta?" tuntut Salma. "Sejak kapan kalian dekat? Kapan lo kenalan sama dia?"

Savika tidak bisa menjawab. Karena kenyataannya ia tak pernah dekat dengan Abrar. Mereka bahkan tak pernah berkenalan secara resmi sebelumnya. Savika tahu nama Abrar juga karena nama dada yang terpasang di seragam—entah bagaimana dengan Abrar. Kalau tidak salah, mereka cuma pernah ngobrol satu kali.

Di hari pertama Savika sekolah, Salma pulang lebih dulu dan meninggalkannya. Savika tidak tahu letak halte. Abrar yang melihatnya kebingungan menawarkan bantuan. Cowok tinggi berkulit putih itu menunjukkan letak halte bahkan mengantar dan menunggunya sampai bus datang. Klasik memang, tapi saat itulah Savika jatuh suka pada Abrar.

***

Abrar memberengut. Matanya memicing tajam pada dua orang di hadapannya. Dia benar-benar merasa terkhianati sekarang. Bagaimana bisa Gavin yang notabene sahabatnya sejak MOS SMP, lebih memihak cewek tengil yang seolah terlahir untuk menyiksanya.

"Udah deh, Blay... jangan cemberut terus gitu. Jelek tahu!" Ervika menarik keras hidung mancung Abrar.

Abrar menepisnya kasar. Ervika ini selain suka menganiaya tubuhnya, juga memanggil Abrar dengan seenaknya. Dan Abrar benci panggilan itu. Kalau Gavin suka memanggilnya Bray dengan alasan Brar terlalu belibet di lidah, Ervika justru memanggilnya Blay. Jablay lebih tepatnya. Katanya itu cocok buat Abrar.

Sialan! Memangnya Abrar cowok kurang belaian apa?

Meski belum pernah pacaran hingga usianya mencapai 17 kan bukan berarti—ah, bukan itu intinya. Masalahnya sekarang, Abrar harus menguak alasan dibalik persekongkolan kedua bocah di hadapannya itu.

"Hei, kamu sendiri yang bilang nggak boleh marah kalau April Mop." Gavin mengingatkan. Dan kalau Gavin sudah memanggil dengan 'kamu' berarti ia dalam mode serius. Dan yeah, Gavin memang merasa agak tidak enak melihat Abrar bermuka masam begitu. Bagaimanapun, mereka sudah berteman lama dan sejauh ini belum pernah bertengkar secara serius.

"Kenapa kalian ngelakuin ini?" Abrar bertanya, sepenuhnya mengabaikan ucapan Gavin.

"Heh? Itu kan ide lo," sahut Ervika. "Anggap aja itu karma karena berniat ngerjain cewek cantik nan baik hati."

Meski tak setuju dengan ucapan Ervika tentang cantik dan baik hati, Abrar tak berniat menanggapi. Ia justru memusatkan tatapan pada Gavin. "Lo sahabat gue kan, Vin?"

"Iya." Gavin tak pernah ragu akan hal itu.

"Terus, kenapa lo khianatin gue demi cewek itu?"

Gavin dan Ervika saling berpandangan sejenak. Setelahnya Gavin nyengir sementara muka Ervika entah kenapa memerah, membuat Abrar mengernyit curiga.

"Well..." Gavin menggaruk pipi kanan—kebiasaan kalau sedang gugup atau canggung. "Lo memang sahabat gue, tapi..." kembali ia melirik Ervika. "Vika pacar gue."

Abrar memelotot. What the...



NB: Chapter berikutnya dan seterusnya setiap hari Selasa ya :)

April FoolTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang