Pelabuhan Bakauheni

0 1 0
                                    

Aku masih terdiam disini, di Pelabuhan sembari menikmati senja, senja yang sungguh indah, membuat kenangan dulu menyeruak kembali. Mebuat air mata mengalir melewati pipi, membuat luka dihati pemiliknya.

Kala itu, dua tahun yang lalu di Pelabuhan yang sangat indah ini dia berpamitan untuk pergi. Entah untuk berapa lama, sampai kapan, aku tidak tahu, bahkan diapun tidak bisa memastikannya.

"Aku dijodohkan oleh orang tua ku." Ucapku yang membuat matanya terpaksa menahan air yang hendak keluar.

"Oh ya? Dengan siapa?" Balasnya sambil tersenyum, membuat lesung pipitnya terlihat. Aku tahu dia pura-pura senang, sorot matanya tidak dapat menutupi fakta bahwa ia sangat sedih.

"Dengan Laila"

Dia tersenyum, mendongkakkan kepalanya ke atas, memandang langit senja. Lima detik.

"Dia gadis yang baik, berasal dari keluarga terhomat pula, aku se-"

"Berhentilah berpura-pura bahagia Disya, aku tahu kau sebenarnya tidak bahagia, kau kecewa Disya, kau kecewa." Aku memotong kata-katanya. "Aku tahu rasanya berpura-pura bahagia, itu sangat melelahkan. Dimana kita harus memasang wajah ceria, sedangkan hati kita tak sanggup melakukannya, aku paham bagaimana rasanya itu. Itu sungguh sangat menyakitkan. Aku mohon berhentilah berpura-pura, sorot matamu tidak bisa menutupi apa yang sebenarnya kau rasakan." Disya menundukkan kepalanya. "Menangislah jika kau ingin menagis, tak perlu ditahan karena itu hanya akan membuat dadamu semakin sesak."

Disya menangis terisak, membuat pipinya basah oleh air matanya. Aku merangkulnya, memeluknya dengan lembut. Membiarkan air mata Disya membasahi bajuku.

"Menangislah jika itu membuatmu lebih baik." Ucapku sambil mengelus punggung Disya.

"Maaf, maafkan aku."

"Tidak ada yang perlu dimaafkan Disya."

"Maaf, aku belum bisa melepaskanmu. Aku masih mencintaimu." Disya mengatakannya sambil terisak.

"Aku tahu Disya, kau sudah berulang kali mengucapkan tiga kata itu."

"Maaf, sungguh maafkan aku."

"Sudah kubilang, tidak ada yang perlu dimaafkan. Karena semuanya masih seperti dulu, aku masih mencintaimu."

Mendengar itu, tangisan Disya semakin menjadi. Aku mengerti, sepertinya Disya terus menahan air matanya agar tidak tumpah. Dan hari ini Disya telah mengeluarkannya, meluapkannya bersama perasaan hatinya yang sesungguhnya.

Disya melepaskan pelukanku, mengusap air matanya lalu menatapku. Kini mataku bertatapan dengan mata sembab milik Disya.

"Tunggulah aku, aku pasti akan membatalkan perjodohan itu. Aku akan mengatakan kepada orang tuaku bahwa aku hanya mencintaimu." Disya kembali mengusap air matanya, tersenyum, mengangguk.

Aku pura-pura menerima perjodohan itu dengan senang hati. Mengatakan bahwa aku senang dengan perjodohan ini, aku belum berani mengatakan bahwa aku ingin membatalkan perjodohan itu. Aku terus saja mengulur waktu untuk mengatakannya, aku tidak meyadari bahwa disana seseorang sedang menungguku. Aku terus saja berpura-pura bahagia selama kurang lebih satu tahun. Ketika aku dan Disya berpas-pasan pun kami pura-pura tidak mengenal. Kami terus saja seperti itu, tanpa aku sadari sangat berat bagi Disya melewati itu.

Hingga pada akhirnya orang tuaku memutuskan bahwa aku dan Shinta akan menikah bulan depan. Aku sangat terkejut akan keputusan itu, terlebih aku tidak mencintai Shinta. Kabar tentang pernikahannku telah menyebar luas dengan cepat, entah bagaimana caranya, akupun tidak tahu. Hingga aku mendapatkan kabar dari orang terpercayaku bahwa aku ditunggu oleh Disya di pelabuhan, sore ini. Aku bergegas bersiap-siap untuk menemui Disya. Dan akhirnya aku melihat Disya yang sedang melihat ke arah Pelabuhan sekaligus menyaksikan matahari yang mulai tenggelam.

"Disya?" Ucapku. Gadis yang menggunakan celana jeans, kemeja kuning, dan syal orange itu menoleh. Tersenyum. Senyumannya sama seperti satu tahun kebelakang, ketika Disya berpura-pura bahagia. Disya menghampiriku, beberapa helai rambutnya berterbangan. Untuk kedua kalinya mataku bertatapan dengan mata Disya yang berkaca-kaca. Bibirnya masih tersenyum.

"Aku sudah dengar tentang berita pernikahanmu." Suaranya hampir terkalahkan oleh suara ombak yang menabrak bantalan Pelabuhan.

Aku masih diam, menatap matanya. Dia meneteskan air mata, lalu mengusapnya kembali.

"Aku pergi, maaf" Ucapya dengan suara yang lirih. Dia tertunduk dan aku hanya menatapnya. Suara ombak yang menabrak dinding pelabuhan menemani kami kala itu.

"Kapan kau kembali?"

Dia menggelengkan kepalanya.

"Jaga dirimu, maaf sudah membuat hatimu terluka." Ucapku sambil menggenggam tangannya.

Dia menganggukkan kepalanya lalu menatapku. Kini aku melihat wajahnnya, wajah cantik menawan yang terus membuatku merasa bersalah. Dia mengusap airmata yang ada di pipinya.

"Ini untukmu." Sebuah amplop. "Maafkan aku, sungguh. Aku tidak bisa mengatakannya secara langsung, maaf." Aku menerima amplop itu. "Aku pergi, jaga dirimu." Dia berjalan mundur, melambaikan tangannya perlahan, lalu membelakangiku dan akhirnya dia benar-benar pergi.

Perlahan aku membuka amplop, mengeluarkan kertas yang ada di dalam amplop itu.

Lampung, 16 Mei 2014

Untukmu, Riko.

Maafkan aku, aku pergi. Aku tidak sanggup memperjuangkanmu hingga akhir. Aku tidak bisa meunggumu terlalu lama. Saat itu aku tidak mengerti mengapa kau melakukan itu, kau menerima wanita yang dijodohkan oleh orangtuamu. Kau memintaku untuk menunggu. Aku menyanggupinya, aku menunggumu lebih dari satu tahun.

Kau tahu? Aku pikir menunggu itu mudah, aku pikir menahan rindu itu ringan. Tapi semakin lama aku menyadari bahwa itu sulit dan berat, maafkan aku. Hatiku ternyata tidak sanggup untuk melaluinya. Aku lelah, sangat lelah. Ditambah kenyataan bahwa kau dan wanita itu akan menikah bulan depan.

Kau tahu bagaimana perasaanku saat itu? Aku merasa kecewa, aku merasa penantianku sia-sia. Jadi aku memutuskan pergi, aku tahu itu berat. Tapi aku lebih takut jika aku tak bisa melepaskanmu. Maafkan aku, sungguh maafkan aku, aku tidak bisa memperjuangkanmu.

Ada satu hal yang harus kau ketahui, aku sangat mencintaimu meskipun pada akhirnya aku harus meninggalkanmu. Jaga dirimu. Aku mencintaimu, sangat.

Disya

Saat itu aku sangat menyesal, bukan hanya saat itu tapi sampai saat ini juga. Aku terus bertanya mengapa aku meminta Disya untuk menunggu padahal aku tahu aku tak sanggup melakukan itu.

Maafkan aku Disya. Aku menyadarinya sekarang bahwa menunggu dan menahan rindu itu sulit dan berat. Terlebih jika menunggu tanpa adanya kepastian yang jelas. Maafkan aku, karena telah membuatmu menunggu lama, dengan penantian yang sia-sia. Sungguh maafkan aku.

Lampung, 16 Mei 2015

Untukmu, Disya.

Bagaimana kabarmu? Kau baik-baik saja? Aku harap begitu. Disya aku minta maaf, aku menyesal. Mengapa penyesalan datang diakhir? Andai saja penyesalan itu datang diawal, sudah dipastikan aku tidak akan melukaimu.

Tepat setahun kau pergi. Kini aku sangat memahami perasaanmu. Menahan rindu itu berat bukan? Sungguh sesak rasanya menahan rindu yang sudah lama tinggal. Aku menyadari banyak hal Disya, banyak sekali. Aku paham tentang cinta yang memang ternyata sederhana, tetapi kadang menjadi rumit.

Saat itu aku tidak ingin melepaskanmu pergi, tapi aku tetap melepaskanmu. Ah, jika saja aku menahanmu untuk pergi dan jika saja saat itu aku berani membatalkan perjodohan itu. Mungkin sekarang aku sedang bahagia bersamamu. Itulah cinta, yang memang dengan kesederhanaannya kadang membuatnya menjadi sangat rumit.

Disya, aku minta maaf. Juga terimakasih, karena hadirmu membuatku mengerti tentang kebahagiaan, dan karena pergimu membuatku mengerti tentang kesempatan. Untuk kesekian kalinya aku minta maaf dan juga berterimakasih. Aku masih mencintaimu Disya, sangat.

Pelabuhan ini sangat indah, terlebih saat senja tiba. Namun tak seorangpun yang tahu, dibalik keindahan senja di pelabuhan ini ada kenangan buruk yang selalu teringat, kenangan yang sungguh masih meniggalkan luka di hati. Sangat disayangkan menikmati senja yang indah di Pelabuhan Bakauheni harus bersama dengan hati yang terluka.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 05, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Pelabuhan BakauheniTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang