"Ketika waktu kian melonggar, jarak turut ikut merenggang. Saat tawa kian memudar, hati yang tersakiti mengepresikan diri. Jika benar sakit hati itu masalah pribadi, taukah kamu apa obatnya?"
****
Awalnya, kita dipertemukan oleh kesamaan. Setelahnya bersama karena terbiasa. Lalu, saat kita mulai beranjak dewasa, banyak permasalahan yang menyangkut soal perasaan dan hati.
Aku tahu, bahwa apa yang kurasakan selama ini hanyalah tentang anganku sendiri sebab tak mau kehilangan dirimu. Karena terbiasa bersama, aneh bagiku jika harus berjauhan denganmu terlalu lama. Jujur aku tak bisa. Bahkan jika kita selalu berjumpa namun tidak saling bertegur sapa, apa yang harus kulakukan? Apa aku bisa?
Kuharap apa yang kurasa saat ini hingga nanti akan kau ketahui suatu saat nanti ....
"Hiks... hiks...." Isak tangis Lily kini terdengar sangat dalam dan berat. Beberapa tetes air matanya sempat membasahi buku hingga membuat kata-kata yang ditulis Lily jadi sedikit memudar.
Suasana sekitar seakan berubah jadi suram seiring dengan berhembusnya angin malam. Lily meremas kerah bajunya dengan kuat guna menahan rasa sesak di dadanya. Kini terisikan sudah buku tersebut dengan untaian kata-kata, juga tuangan perasaanya yang terluka.
Kembali Lily menutup buku diary tersebut dan menguncinya dengan rapat, berharap hanya ia dan Tuhan yang menjaga rahasia cinta sepihak yang selama ini ia rasa agar tak ada satupun orang yang tahu.
,*****
Dari celah-celah lubang angin yang terdapat pada sebuah kamar membuat sesosok laki-laki jadi terbangun dari tidurnya yang pulas. Wajahnya tampak kusut, matanya yang masih terasa berat mengintip keadaan sekitar kamar dengan pandangan cukup kabur.
Sesekali ia mengusap kelopak matanya untuk menetralkan penglihatan. Waktu pada jam alarm yang sengaja tidak diaktifkan menunjukan pukul setengah enam, nyawanya yang belum terkumpul seutuhnya membuat ia enggan untuk segera bangun dan bersiap untuk mandi.
Dengan malas ia meraih ponsel miliknya dari atas nakas. Mengecek beberapa notifikasi untuk sekedar menunggu waktu sedikit berlalu, barangkali semenit.
Entah kenapa kali ini tidak ada lagi pesan masuk yang dikirmkan oleh Lily untuk memperingatkannya agar segera bangun, sama halnya dengan Aster yang malah tak ada mengiriminya pesan sejak tadi malam. Entah perasaanya saja atau memang semua sudah berubah, pasalnya sejak kamarin hingga saat ini, setiap ia terbangun dari tidurnya di pagi hari pasti hal yang ia dapat adalah kesunyian. Padahal jika dibandingkan dengan dulu ia pasti sudah terbangun tanpa perlu mengaktifkan alarm.
Segera ia beranjak dari tempat tidurnya untuk menuju kamar mandi dengan langkah terhuyung-huyung. Bergegas untuk bersiap dan berangkat ke sekolah.
Hampir tiga puluh menit berlalu dan Toby pun sudah siap untuk berangkat ke sekolah, ia pun kini tengah berada di ruang makan sembari menunggu dibuatkan sarapan oleh sang Mamah.
"Nih, By. Sarapannya, makan yang pelan," ujar mamah Toby sambil memberikan roti selai.
Toby pun menyambut sarapanya itu dengan segera dan langsung melahapnya dengan pelan. Sintia---Mamah dari Toby, memandangi putranya itu sambil menuangkan minum.
"Toby, mamah mau tanya sesuatu sama kamu," ucap Sintia sambil menyerahkan segelas susu.
"Tanya apa, Mah?" ujar Toby sembari menatap wajah sang Mamah.
Sintia tersenyum tipis sebelum akhirnya ia melanjutkan kalimatnya. "Kamu tumben nggak berangkat sekolah bareng Lily lagi, pulang sekolah juga kamu sendiri. Emangnya kenapa, By?" tanya Sintia dengan hati-hati.
Toby sempat tersedak sedikit saat mendengar pertanyaan tersebut, segera ia meminum susu yang tadi diberikan.
"Ng--nggak apa-apa sih, Mah. Lagian kan Lily pulangnya deluan dari Toby, wajar dong kalau sendiri," jawab Toby seadanya. Mengingat Lily memang pulang lebih cepat dari putranya membuat Sintia jadi bisa memaklumi.
"Oh, pantesan si Lily pulang sendiri terus. Waktu itu juga mamah liat dia pulang kehujanan tapi digonceng sama cowok," kata Sintia.
Sadar akan apa yang dimaksud oleh mamahnya membuat Toby menganggukan kepala tanpa mau banyak berbicara lagi.
"Toby udah selesai, Mah. Berangkat ya," ujar Toby sambil menyalimi tangan Mamahnya.
Toby pun menuju luar rumah ditemani oleh Sintia yang ingin mengantar anaknya itu.
Tanpa sengaja mereka melihat sosok Lily yang tengah membuka pagar, Toby yang awalnya hendak menaiki motornya itu pun jadi terdiam seketika.
"Loh, Lily, udah sembuh? Kemaren tante dengar dari mamahmu kamu sakit soalnya," sahut Sintia dari teras rumah.
"Udah tante, udah sembuh kok." Lily menyahuti balik sambil memaksakan senyum.
"Syukur deh kalau gitu. Eh, kamu nggak mau bareng Toby aja, Ly? Mumpung dia belum berangkat," kata Sintia sambil menyuruh Toby untuk menghampiri Lily.
"Eh-ah... aduh, nggak usah tante. Nggak apa-apa, Lily bisa ...." Seketik Lily terdiam, bingung ingin bersikap bagaimana sebab tak mungkin ia menolak.
"Udah nggak apa-apa. Jangan nolak, Ly. Gih sana berangkat, ntar telat." Sintia menyuruh Lily agar segera pergi.
"Udah, Ly. Naik aja," ujar Toby. Lily pun menaiki jok motor Toby dengan perasaan tak enak, bahkan ia tak berani memeluk lelaki itu.
Segera Toby menancap gas motornya dengan kecepatan rata-rata.
,*****
... krisar ya guys,^^
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear My Heart, Why Him? [END]
Fiksi Remaja[Chapter Completed] {Melodrama x Teenlit} Tidak ada yang pernah tahu cinta itu dapat berlabuh pada siapa. Nyatanya, itu yang dirasakan oleh Lily. Ia jatuh cinta pada seseorang yang menurutnya tidak tepat, yang tak pasti untuk dimiliki. Ia jatuh hati...