Bagaimana kalau kita hirup pagi ini secangkir kopi cinta?
Adalah seorang pemuda yang aneh perangainya dan naif cara berpikirnya. Sedemikian rupa sehingga sampailah ia ke suatu keadaan yang mungkin tak akan pernah bisa diterima oleh siapa saja.
Keadaan, atau semacam kisah yang ruwet dan mungkin membosankan.
Misalnya, di sebuah penggal dari perjalanannya, ia menemukan yang bernama cinta justru ketika ia tak menjumpai cinta. Sudah jelas ia tak akan pernah menemukan istri idamannya, karena memang tiadalah idaman jiwa yang pantas untuk dihinggapkan kepada sekadar makhluk yang bernama manusia; betapapun ganteng dan perkasanya apabila ia lelaki serta betapapun ayu dan anggun kepribadiannya apabila ia wanita.
Apabila ada potensi cinta yang semacam itu, maka tidakkah ia wajib ditaburkan kepada seluruh manusia, alam, dan Allah penciptanya? Betapa mungkin ada seseorang yang amat ia cintai, sementara ada orang lain yang kurang ia cintai? Kalau toh ada beda takaran pada potensi cinta, itu pastilah kepada Allah saja cinta mengistimewa, sementara kepada manusia - siapa saja - cinta mempersembahkan dirinya.
Maka sudah pasti lelaki itu tak akan bisa memilih seseorang, karena seluruh bobot pilihan jiwa akan kepada Tuhan jatuhnya.
Adapun kepada manusia, seseorang di sini atau seseorang entah di mana, itu tentulah hanya lengan panjang dari penyelenggaraan Allah-nya di mana ia menerima itu sebagai semacam sembahyang.
Maka lelaki itu menjalani perjalanannya dengan sekadar bekerja dan bekerja, mencari dan merindukan segala yang terbaik, sementara tak habis ia bersedia oleh keburukan-keburukan yang belum bisa tuntas dielakkannya. Di mana ia berumah, dari siapa ia lahir, dengan siapa ia berkawan, dalam siapa ia berumah tangga, di tengah lingkungan mana ia bertetangga - ditentukan tidak oleh keputusan-keputusannya, melainkan oleh integrasi antara kadar kemurnian pekerjaan dan perbuatannya dengan kehendak-kehendak Allah yang timbul tenggelam yang terkadang tampak terkadang tersembunyi dari penglihatan manusia.
Apabila ditanyakan kepadanya tentang istri, ia berkata: "Aku tidak memilih. Aku bergaul biasa saja. Aku tidak bisa menentukan, karena bagiku mustahil untuk membedakan manusia di antara penerimaan dan penolakan. Perkawinan mestinya sama penting dengan kelahiran; kelahiran yang juga dulu terjadi tanpa kupilih. Tetapi mungkin aku bisa mengatakan, berdasar adat Tuhan kepadaku, yang akan menjadi istriku adalah seseorang dengan kapasitas di mana aku paling harus berbuat terbanyak dan terdalam kepadanya, dibanding kapasitas-kapasitas yang lainnya."
Dan apabila lelaki itu engkau tanyai mengenai pekerjaan, perbuatan baik, amal dan pergaulan, ia berkata: "Aku berbagi kepada siapa saja secara seimbang, diukur berdasar kerangka kebenaran yang terus-menerus kulacak. Amalku tidak mungkin dibatasi oleh apa-apa, kecuali oleh resultante antara cinta dan kebenaran."
Para pelanggan, berhati-hatilah apabila berjumpa dengan lelaki yang ma'syuk fillah seperti itu. Di mata kita, ia adalah makhluk yang bukan saja aneh dan naif, tapi juga bisa destruktif. Ia bisa merupakan hantu di tengah tata nilai Anda, tata meja kursi Anda, tata mesin Anda, serta tata anatomi kebudayaan manusia dunia. Kalau tak ingin repot, hindari atau buang ia. []
- Secangkir Kopi Jon Pakir -
KAMU SEDANG MEMBACA
Cak Nun - Sebuah Kumpulan Tulisan
RandomSeperti yang tertulis pada covernya, "Jangan Berhenti Pada Kata Cinta, Alamilah Getarannya . . .", ini adalah sebuah getar-getar yang mencoba mengurai cinta tak hanya sekedar dari kata, melainkan dari pengalaman kehidupan yang meluas dan mendalam, r...